Ironi "Pendidikan" Kita

Anggaran pendidikan yang luar biasa besar (20% dari APBN), rupanya tidak serta merta meningkatkan kwalitas pendidikan kita. Ini antara lain disebabkan karena sebagian anggaran tersebut lebih banyak diprioritaskan untuk belanja gaji. Bukan untuk siswa sehingga yang kita temui di lapangan adalah ironi. Banyak anak bangsa yang tidak bisa sekolah di tengah kehidupan guru yang makin makmur. Kualitas mendidik guru juga tidak meningkat sesignifikan kenaikan kesejahteraan mereka, Jadi teori yang mengatakan kualitas pendidikan akan meningkat jika gaji guru diperhatikan terbukti SALAH TOTAL. 

Sayangnya pendapat salah itu tak bisa diperbaiki dengan penurunan gaji guru yang sudah terlanjur naik sedemikian besar. Yang terjadi adalah guru-guru yang "shock" dengan pendapatan barunya itu lebih fokus memikirkan gaya hidup dan terjerat kredit macam-macam kebutuhan baru dan peningkatan kualitas mengajar pun menjadi prioritas terakhir yang mereka pikirkan setelah cicilan mobil barunya. Maka marilah kita lihat dengan jujur apakah ada peningkatan kualitas mengajar yang signifikan dari guru-guru yang alami peningkatan kesejahteraan itu?

Namun di tengah-tengah pesta pora anggaran pendidikan besar yang dinikmati sebagian guru PNS tsb. Ada guru-guru lain yang didiskriminasikan. Mereka adalah guru bantu atau guru honorer atau guru sukwan. Apa yang terjadi pada guru honorer ini lebih layak disebut sebagai perbudakan model baru di tengah teman-temannya yang sedang berpesta. Guru honorer banyak yang gajinya (honornya) jauh dibawah UMR, bahkan di bawah angka kelayakan hidup. Banyak guru honorer saat ini yang gajinya masih sekitar Rp 200 ribu sebulan. Bisa buat apa uang segitu?

Patut dipertanyakan apakah bidang pendidikan diluar jangkauan hukum? Sebab cara mereka menggaji guru honorer jelas melanggar UU, Selain dari besaran gaji (honor), cara penghitungannya pun merupakan kecurangan sistematis yang diterima secara umum. Aturan pemberian gaji guru honorer ini berbeda-beda di beberapa daerah. Tapi pada dasarnya terbagi menjadi 3 model, yaitu:
1. Jam-jaman. 
2. Harian. 
3. Bulanan.

Jadi model pengupahan mereka mirip buruh pabrik. Bedanya penghasilan guru honorer ini jauh dibawah upah buruh. Ketiga model penggajian diatas pada intinya sama saja. Maksudnya sama-sama mirisnya. Semua model penggajian diatas berdasarkan jam mengajar. Meskipun menggunakan model penggajian bulanan tapi hitung-hitungannya tetap jam mengajar. Guru honorer yang digaji bulanan akan dihitung gajinya berdasarkan jam mengajarnya. Disini terjadi kelicikan yang direstui negara.

Sebagai contoh, Pak Umar mengajar sebanyak 12 jam seminggu. Artinya dia mengajar/bekerja sebanyak 12 x 4 = 48 jam sebulan, Jika upah mengajar per-jam adalah 20 ribu, apakah Pak Umar digaji sebesar 48 x 20 ribu = 960 ribu sebulan? Ternyata tidak. Yang dihitung hanyalah jumlah kerjanya seminggu saja. Jadi gaji Pak Umar cuma 20 ribu x 12 jam = 240 ribu. Lalu kemana jerih payah kerja 3 minggu sisanya? Rupanya ini sudah menjadi standard perhitungan penggajian guru honorer. Apakah kerja sebulan yang hanya dibayar seminggu ini bukan sebuah perbudakan? Ya, ini perbudakan model baru.

Ironisnya perbudakan model baru ini justru terjadi di dunia pendidikan kita. Lebih ironis lagi nasib miris para guru honorer ini terjadi di tengah peningkatan kesejahteraan guru PNS yang luar biasa. Lalu bagaimana dengan dibayar jam-jaman atau harian. Mereka memang dibayar penuh tiap jam mengajarnya. Tapi angkanya luar biasa kecilnya. Intinya ya sama saja semua model penggajian guru honorer ini melanggar UU ketenaga kerjaan.

Apabila perusahaan swasta bisa di obok-obok jika menggaji karyawannya dibawah standar. Mengapa negara justru melakukan pelanggaran ini? Lalu bagaimana para guru honorer ini mempertahankan hidupnya? Berbagai cara mereka tempuh, mulai jadi pemulung sampai sambilan apa saja. Entah mengapa mereka tetap bertahan dgn sistem yang menindas ini. Bisa jadi karena mimpi diangkat suatu saat nanti, atau memang tak punya pilihan lain, ataukah kecintaannya pada dunia pendidikan? Masing-masing punya alasannya sendiri-sendiri.

Namun yang terjadi pada guru honorer kita adalah nyata, perbudakan di depan mata yang direstui oleh negara. Tentu kita tak ingin menjadikan guru-guru kita manusia snob yang kaget dengan penghasilan yang tiba-tiba melonjak macam guru-guru PNS tsb. Tapi kita juga tak boleh membiarkan para pendidik generasi penerus bangsa ini hidup dalam penindasan, sebab baik guru PNS, guru swasta maupun guru honorer, mereka adalah pendidik generasi penerus bangsa ini. Sudah saatnya pemerintah lebih memperhatikan nasib guru honorer dibanding guru PNS yang sudah makmur-makmur itu. Setidaknya beri mereka gaji yang sesuai standard upah untuk pekerja pada umumnya. Tak berlebihan bukan? Sekali lagi gaji guru tidak ada hubungannya dgn kualitas mengajar mereka. Ini semata-mata demi kemanusiaan. Minimal kerja mengajar sebulan dihargai sebulan juga. Jangan mengajar sebulan tapi dibayar seminggu.

Komentar

Postingan Populer