Kurikulum Anti Bullying

Bullying atau perundungan kerap terjadi di Indonesia, serta mengakibatkan banyak kerugian, baik materil maupun non materil. Kasus terbaru yang menimpa salah seorang siswa SMP di Malang, Jawa Timur, menambah daftar panjang kasus perundungan di Indonesia. Bullying atau perundungan adalah tindakan di mana satu orang atau lebih menyakiti orang lain dalam bentuk verbal maupun non verbal. Bentuk bullying ada banyak, yang paling umum adalah melakukan intimidasi dan kekerasan. Efek dari bullying yang paling mengerikan adalah yang berkaitan dengan psikologi, dan korbannya pun bisa nekat dengan melakukan bunuh diri Data yang saya kutip dari JawaPos tentang kasus bullying yang terjadi pada awal tahun 2019, berdasarkan jenjang pendidikan, mayoritas kasus terjadi di jenjang Sekolah Dasar yaitu sebesar 67% atau 25 kasus, jenjang SMP sebanyak 5 kasus, SMA sebanyak 6 kasus, dan Perguruan Tinggi sebanyak 1 kasus, setidaknya data itulah yang diterima oleh KPAI. Dalam tulisan kali ini saya tidak akan membahas perilaku bullying, melainkan lebih menghadirkan problem solving. Sebenarnya, bagaimana sih pencegahan agar tidak lagi terjadi kasus bullying? Yang pertama adalah peran dari Pemerintah Pusat dan Daerah, serta peran dari Kementerian terkait sangat dibutuhkan. Melalui sosialisasi rutin yang harus dilakukan, akan sedikit membantu meminimalisir kasus perundungan. Kenapa saya mengatakan “rutin” dan “harus”? karena kasus perundungan ini bukan kasus yang sederhana. Kasus bullying merupakan sebuah kasus yang serius, maka dari itu Pemerintah harus bekerja ekstra memberikan sosialisasi, edukasi, serta perlindungan bagi siapa saja. Perkara bullying ini menurut saya teramat rumit, karena untuk mencari benang merahnya, kita harus membedah dari sisi psikologis dan juga historis. Kenapa saya berkata “historis”? karena kasus perundungan bukanlah kasus yang baru netes dari kinder joy, tapi sudah sejak dulu kasus perundungan ada dan dipertahankan hingga saat ini. Bullying menurut saya adalah sebuah penyakit ganas yang harus segera ditemukan obatnya. Yang kedua, peran orangtua serta guru juga tidak kalah pentingnya. Orangtua dalam hal ini harus memberikan edukasi kepada anaknya perkara bullying, jangan malah dibiarkan saja ketika anaknya melakukan bullying. Contoh yang sering terjadi saja, di masa kanak-kanak pasti kita semua pernah meledek teman kita dengan menyebut nama orangtua. Saling ledek nama orangtua ini sering terjadi, tapi dibiarkan saja dengan dalih “gakpapa anak kecil, bentar lagi juga baikan”. Padahal saling ledek nama orangtua bisa membuat beberapa anak saling pukul karena emosinya, betul? Ketika saling ledek nama orangtua, kondisi psikologis anak sedang dipertaruhkan jika kasus seperti itu hanya didiamkan, dimaklumkan. Lalu anak-anak kecil saling ledek dengan bahasa daerah mereka masing-masing, yang dapat menyebabkan korban menangis hingga adu pukul saking emosinya. Di sekitar kita banyak sekali kasus bullying yang terjadi, tapi kenapa kita hanya diam saja? Kenapa kita tidak menegur anak kita, keponakan kita, atau anak tetangga? Sejak awal kita sudah membiarkan kasus bullying mendarah daging, dan ketika kasus bullying terjadi serta memakan korban, kita sibuk menyalahkan dan menghakimi. Akan sampai kapan kita akan membiarkan bentuk perundungan, bahkan yang paling sederhana dan umum terjadi? Yang ketiga, peran anak-anak muda seperti akademisi, intelektual, mahasiswa atau siapa saja yang paham dengan kasus bullying, juga tidak kalah penting. Ambil saja contoh saya sendiri, saya sering menyoroti kasus bullying dan membuat esai tentang bullying. Hal itu saya lakukan sebagai bentuk peduli saya terhadap generasi penerus, sebagai bentuk tanggung jawab saya yang mempunnyai kapasitas mengenai hal ini. Saya membuat Rumah Depresi, salah satunya untuk meminimalisir kasus bullying dan menjadi wadah bagi korban. Kita semua mempunyai peran penting untuk menyingkirkan penyakit bullying dari Indonesia, dari dunia, karena apa? Dengan kita ikut serta dalam meminimalisir bullying, artinya kita telah ikut menyelamatkan masa depan anak manusia. Hal terakhir yang ingin saya sampaikan adalah, kenapa Menteri Pendidikan tidak membuat kurikulum baru tentang bullying? Ciptakanlah kurikulum dengan membuat mata pelajaran baru untuk murid. Unutk isinya, Menteri Pendidikan bisa mengisi dengan edukasi-edukasi seputar psikologis, bila perlu putarkan video kasus bullying yang mengakibatkan korban mengalami luka hingga bunuh diri, karena menurut saya, dengan anak-anak melihat langsung video itu akan memberikan syok terapi yang bagus untuk perkembangan mental serta pikiran peserta didik. Mata pelajaran bullying bisa diisi dengan melakukan pendekatan-pendekatan yang presuasif, misalnya tanya jawab, atau anak-anak diizinkan untuk mengadu kepada pihak sekolah jika mengalami perundungan. Ada banyak sekali cara yang dapat kita lakukan untuk meminimalisir kasus bullying, misalnya dengan story telling. Ciptakan media khusus untuk anak memaparkan apa yang ia rasa, karena tekanan mental tidak hanya terjadi dari teman sebaya, tapi juga dari keluarga. Di Indonesia ada banyak kasus seorang anak yang dipukuli oleh orangtuanya, mendapatkan tekanan dari orangtuanya, disuruh untuk menjadi seperti yang diinginkan oleh orangtuanya. Imbasnya? Tentu ke mental disorder atau mental illness. Kemana mereka akan mengadu perihal tekanan mental yang dialami? Ke psikiater? Rumit dan juga memakan biaya yang tidak seidikit. Maka dari itu, tidak ada salahnya tiap sekolah menyediakan media bagi mereka yang mendapatkan tekanan mental dari orangtuanya. Semoga tulisan ini dapat dibaca oleh orang banyak, dan sampai ke mereka yang berada di Kementerian Pendidikan, KPAI, serta lembaga terkait.

Komentar

Postingan Populer