Paradoks Pertuah Jokowi


Sebenarnya saya sudah beberapa kali berkata bahwa saya merasa bosan ketika harus membahas masalah politik. Karena bagi saya politik itu ketika dibicarakan, tidak akan pernah ada habisnya, dan selalu ada saja celah bagi sebagian kelompok untuk membuat gaduh pemikiran masyarakat awam. Namun ada beberapa poin sisa dari bahasan Debat Capres Kedua yang belum saya selesaikan, dan memang poin-poin itu sangat menarik untuk diulas kembali.

Pada tema Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam, kedua Capres sama-sama sepakat untuk memperketat regulasi serta mempertegas hukum bagi pembakaran hutan. Namun pada kenyataannya janji itu sudah sering sekali saya dengar dan lagi-lagi terjadi tumpang tindih terhadap hukum di negara kita. Memang, kasus-kasus pembakaran hutan pada pemerintahan Jokowi dapat diproses dan perusahaan yang melakukan pembakaran hutan mendapatkan sanksi berupa denda sekian miliar hingga sekian triliun rupiah. Tapi yang jadi pertanyaan, kapankah denda itu dibayarkan? Laporan Greenpeace menyebutkan bahwa perusahaan yang terlibat pembakaran hutan hingga saat ini belum juga membayarkan denda kepada negara.

Sebenarnya di pemerintahan Jokowi sudah melakukan naturalisasi atau reklamasi bekas galian tambang yang masuk ke dalam pokok bahasan yang ditujukan kepada Prabowo. Namun masih ada juga kasus galian tambang yang dibiarkan saja tanpa ada proses reklamasi bekas galian tambang. Bahkan, kasus belakangan menyebutkan bahwa ada beberapa korban yang tenggelam di bekas galian tambang. Nah, jika berbicara mengenai strategi untuk mengatasi masalah tambang, sebenarnya cukup sederhana. Hemat saya, bekas galian tambang bisa dimanfaatkan oleh pemerintah daerah guna memperoleh pendapatan, yaitu dengan menjadikan lokasi bekas galian tambang sebagai opsi lain pilihan wisata alam. Untuk merealisasikan hal ini tentunya harus ada kesinergian antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.



Sedangkan pada bahasan sebelumnya mengenai pangan, sebenarnya tidak ada salahnya jika negara kita mengimpor produk pertanian dari negara lain, namun jangan sampai berlebihan yang merugikan petani lokal dan menyebabkan harga komoditi terjun bebas. Kenapa saya bilang “tidak ada salahnya”? karena suatu saat negara kita juga akan melakukan ekspor produk pertanian ke negara lain.
Pada esai yang sudah pernah saya buat masalah ekspor-impor, pasti ada yang masih ingat dengan esai saya yang membahas General Agreement on Tariff and Trade [GATT], yaitu perjanjian yang dibuat setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua. GATT diimplementasikan untuk mengatur perdagangan dunia [ekspor dan impor]. Indonesia sendiri mendapatkan sanksi sebesar 5 triliun rupiah karena dalam hal ekspor-impor tidak terjadi keseimbangan alias lebih banyak ekspor-nya ketimbang impornya. Perkara ini dipicu oleh perang dagang anara Tiongkok versus Amerika Serkat.

AS, melalui Donald Trump, menggugat Indonesia atas ketidak-seimbangan kuantitas ekspor dan impor antara kedua negara yaitu AS dan Indonesia. Protes dari AS itu juga mendapatkan dukungan dari banyak negara, termasuk Tiongkok yang notabene menjadi negara pengimpor untuk Indonesia. ketidak-seimbangan yang saya maksud gampangannya seperti ini: Indonesia ekspor ke AS sebesar 10, namun Indonesia mengimpor dari AS sebesar 8, hal inilah yang dipermasalah oleh Amerika Serikat. Jadi, teramat naif jika Indonesia angka impornya 5 jika angka ekspornya 7. Hal demikian akan semakin menyudutkan Indonesia dalam urusan perdagangan dunia. Hemat saya, pemerintah harus sangat berhati-hati dalam menentukan besaran impor dan ekspor antar negara agar neraca keseimbangan tetap berada di tengah. Untuk menjelaskan perkara ini tentunya akan sangat panjang karena hal ini berkaitan dengan dengan perekonomian internasional yang juga menyangkut masalah nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Poin terakhir yang ingin saya bahas yaitu masalah pembagian sertifikat oleh Presiden Jokowi. Pada prakteknya, ada beberapa kasus seperti yang pernah saya singgung pada thread beberapa hari yang lalu, yaitu masalah beberapa orang yang mendapatkan sertifikat dari Jokowi yang justru diharuskan membayar sekian ratus juta rupiah kepada pemerintah daerah. Sedangkan pada banyak kesempatan, Jokowi menyinggung tujuan dibagikannya sertifikat kepada masyarakat, yaitu guna sebagai agunan permodalan. Hal ini juga sudah beberapa kali saya bahas dalam esai maupun thread.

Untuk memajukan UKM dan UMKM guna mensukseskan Revolusi Industri 4.0, statment dari Jokowi seperti di atas sangatlah berbahaya. Kenapa bisa demikian? Pelaku UKM/UMKM memerlukan edukasi, sosialisasi, pengawasan, hingga penyerapan produk mereka. Jika warga yang mendapatkan sertifikat gratis diarahkan untuk meminjam utang ke bank, bagaimana jika usaha mereka gagal? Agunan berupa sertifikat itu tentunya akan disita oleh bank karena gagal memnuhi kewajiban berupa angsuran. Kalau tidak salah satu atau dua tahun yang lalu, Kemenristek Dikti melakukan sosialisasi mengenai technopreneurship di kampus-kampus guna membimbing para pelaku usaha agar mereka bisa menjalankan dan mengembangkan bisnis yang dilakoni. Hal ini tentunya sangat bermanfaat mengingat minimnya pengetahuan mereka mengenai manajemen keuangan, terutama dalam studi kelayakan bisnis.

Acara sosialisasi seperti di atas seharusnya masif dilakukan guna menciptakan pelaku usaha yang berkompeten. Sehingga, jika pelaku mengikuti perintah Jokowi untuk menjadi sertifikat yang mereka terima sebagai agunan, para pelaku usaha sudah bisa mensiasati agar agunan yang mereka jaminkan tidak disita oleh bank. Namun jika Jokowi hanya menyuruh untuk menggadaikan sertifikat guna mendapatkan modal, sedangkan mereka yang menggadaikan tidak mendapatkan edukasi untuk menjadi pelaku usaha yang baik dan benar, tentunya angka kemiskinan akan semakin bertambah, dan ketimpangan sosial di negara ini juga akan semakin parah.





#Hara.Nirankara





Komentar

Postingan Populer