Analisis – Trilogi Saudi-Wahhabi-Amerika di mata Buya Syafii Maarif



BAGIAN 1

Ahmad Syafii Maarif pada 6 dan 13 November 2018 menulis artikel berseri yang diterbitkan oleh Republika. Artikel tersebut berjudul “Kiblat di Tangan Para Tiran”, yang isinya merupakan kecaman terhadap rezim Arab Saudi. Sebenarnya, cukup banyak penulis lainnya yang juga pernah menulis tentang keburukan rezim Saudi, namun lain halnya apabila Buya –sapaan akrab Ahmad Syafii Maarif—yang menuliskannya, bagaimanapun beliau adalah mantan Ketua Umum Muhammadiyah, salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia. Bahkan saat ini, di usia senjanya, Buya bagi Indonesia sudah dianggap sebagai Bapak Bangsa. Maka sebuah kritikan keras dari seorang Bapak Bangsa bagi rezim Saudi dampaknya akan sangat mengena terhadap pihak-pihak yang berkepentingan.
Tulisan ini akan mengulas artikel Buya dengan tujuan agar pemikirannya dapat dielaborasi lebih dalam, dan dengan harapan  itu dapat tersampaikan secara lebih luas ke masyarakat Indonesia.
Dalam artikelnya, Buya membahas tiga aktor utama, yaitu (1) Rezim Saudi, (2) Ulama Wahhabi, dan (3) Amerika Serikat. Inti dari artikel yang disampaikan Buya, menurut penulis, adalah rasa prihatin beliau ketika dua kota tersuci umat Muslim dikuasai oleh Rezim Saudi yang zalim. Bahkan tidak segan-segan Buya menyebut Rezim Saudi sebagai “tiran”, yang diartikan sebagai “penguasa zalim, penindas, atau jahat,” atau “seseorang yang menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang atau secara jahat.”
Tidak hanya sampai di sana, label negatif lainnya pun beliau sematkan kepada Rezim Saudi (meskipun beberapa beliau kutip dari penulis lainnya), seperti keji, biadab, palsu (berkedok kemuliaan), brutal, tidak dapat dipercaya, korup, anti-demokrasi, feodal, dan penghambat kemajuan. Kekhawatiran Buya terhadap dikuasainya Mekkah oleh rezim tiran beliau ungkapkan dalam sebuah pernyataan, “Ini masalah sangat besar karena menyangkut kelakuan penguasa dengan segala atribut mulia yang menempel pada dirinya. Umat Muslimin sedunia wajib memahami semuanya ini dengan sikap sangat awas, tidak boleh tiarap. Ini nasib kiblat mereka yang dikunjungi jutaan orang sepanjang waktu.”
Beliau juga membayangkan sikap Nabi Muhmmad SAW apabila masih hidup, “Saya tidak tahu bagaimana sikap Nabi Muhammad SAW menyaksikan perubahan yang dahsyat seperti ini pada saat agama akhir zaman ini semakin sunyi dari roh kenabian. Proses pembaratan besar-besaran begitu nyata sedang digulirkan dan digalakkan di sana (Mekkah dan Madinah). Saya khawatir hati penguasanya telah lama membeku dan membisu terhadap kebenaran, sedangkan ulamanya tidak paham peta."
Penjaga Kota Suci Islam
Bagi kalangan awam, akan cukup untuk sulit untuk menghubungkan keterkaitan antara Keluarga Saudi, Ulama Wahhabi, dan Amerika Serikat (akan dibahas pada sambungan artikel ini). Pasalnya itu melibatkan sejarah yang amat panjang, dan mesti banyak membaca untuk dapat memahaminya. Jangankan untuk sampai ke sana, keluarga kerajaan Arab Saudi untuk dikatakan zalim saja niscaya banyak yang akan menolaknya, dan sampai tahap tertentu bahkan sampai berujung kepada kemarahan dan merasa terhina. Lebih jauh lagi, itu juga dapat disebut-sebut sebagai penghinaan terhadap agama Islam. Bagaimana mungkin penjaga dua kota suci Islam merupakan orang zalim? Bagi anggapan awam, mereka mestilah orang yang alim, saleh, taat agama, suci, dan sederet label kebaikan lainnya.
Tentunya kita semua masih ingat, bagaimana Raja Salman bin Abdulaziz beserta keluarganya disambut dengan gegap gempita ketika mengunjungi Indonesia pada 2017 lalu. Di Bogor, bahkan sekolah sampai diliburkan dan murid-muridnya dikerahkan untuk menyambut Salman sambil mengibar-ngibarkan bendera Arab Saudi dan Indonesia. Narasi di media sosial massif, “Indonesia diberkahi karena kedatangan Raja Salman.” Pada intinya, segala sesuatu yang datang dari Mekkah, dianggap sesuatu yang baik, sakral, dan suci, karena dari sanalah agama Islam lahir.
Padahal apabila kita mau sedikit menengok ke belakang, dari abad ke abad penjaga dua kota suci Islam selalu berganti. Dan belum tentu semuanya orang baik. Bahkan dalam catatan sejarah, perebutan kota Mekkah dan Madinah, seringkali diwarnai oleh peperangan dan pertumpahan darah di antara sesama Muslim. Berganti Dinasti Islam, maka berganti pula penjaga dua kota sucinya. Dan asal tahu, Dinasti Fatimiyah yang bermadzhab Syiah, ketika berkuasa juga pernah menguasai Mekkah dan menempatkan Amir-nya untuk mengelola dan menjaga kota Mekkah. Ya, Syiah yang di Indonesia seringkali dilabeli stereotip negatif semacam sesat, menyimpang, dan lain-lain.
Belum lagi apabila kita berbicara kontroversi pasukan Yazid dari Dinasti Umayyah yang membakar dan menghancurkan Ka’bah, para budak yang mendirikan Dinasti Mamluk dan menyandera khalifah Abassiyah, Selim dari Dinasti Ustmaniyah Turki yang menaklukan dan menjarah Mekkah, dan Husein bin Ali dari Dinasti Hasyimiyah yang bersekutu dengan Inggris untuk menyingkarkan khalifah Mehmed V. Sejarah penjaga kota suci Islam sangat panjang, dan seringkali diwarnai oleh situsasi politik Dinasti yang sedang berkuasa. Bani Saud, hanyalah salah satu dari sekian banyak dan kebetulan yang terakhir dari penjaga dua kota suci Islam, dan menurut Buya Syafii, mereka jelas-jelas bukan jenis penguasa yang baik, bahkan ucapan beliau lebih keras lagi, yakni zalim!
BAGIAN 2
sebelumnya penulis telah menyebutkan bahwa ada tiga aktor utama yang diulas dalam artikel Buya Syafii, mereka adalah (1) Rezim Saudi, (2) Ulama Wahhabi, dan (3) Amerika Serikat. Artikel kali ini akan membahas bagaimana hubungan ketiga aktor tersebut.
Buya Syafii sangat menekankan (sampai dua kali beliau menyuruh) kepada para pembaca untuk membaca artikel dari Prof DR Abdullah Mohammad Sindi (warga Saudi kelahiran Mekkah, 1944) yang menurutnya telah memberikan kritik “yang sangat mendasar, tajam, dan argumentatif” terhadap Rezim Saudi. Artikel tersebut ditulis dalam bahasa Inggris dengan judul Britain, the Rise of Wahhabism and the House of Saud, dan isinya lumayan panjang!
Penulis akan berbaik hati kepada para pembaca dengan membuat rangkuman dari artikel tersebut dan tentunya dalam bahasa Indonesia. Ini penting, karena pemikiran Buya Syafii dalam artikelnya banyak dipengaruhi oleh tulisan yang dibuat oleh Prof DR Abdullah Mohammad Sindi tersebut. Perlu dicatat, ulasan penulis nanti sepenuhnya bersumber dari artikel yang ditulis oleh Sindi. Berikut ini adalah ulasannya:
Pengantar
Wahhabisme adalah sekte resmi dan paling dominan di Arab Saudi pada hari ini. Wahhabi dan Keluarga Saud saling bergantung satu sama lain dan keduanya tidak dapat bertahan hidup tanpa kehadiran salah satunya. Wahhabi mempromosikan keterbelakangan bagi warganya sendiri dengan menolak modernisasi. Selain itu, mereka juga mengharamkan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW ketika sekte Muslim manapun yang lainnnya justru melaksanakannya.
Kelahiran Wahhabisme
Wahhabi dilahirkan di Dir’iyyah (sekarang berada di dekat Riyadh, ibu kota Arab Saudi) dari pendirinya yang bernama Muhammad bin Abdul-Wahhab (1703-92) pada pertengahan abad ke-18. Muhammad bin Abdul-Wahhab (selanjutnya disebut Ibnu Abdul-Wahhab). Dia adalah seseorang yang dididik oleh intelijen Inggris untuk menghancurkan Islam dan Kesultanan Ustmaniyah (Ottoman) dari dalam.
Dalam catatan intelijen Inggris, Abdul-Wahhab digambarkan sebagai seseorang yang sangat tidak stabil, sangat kasar, secara moral bejat, penggugup, arogan, dan abai. Meski demikian Inggris tetap mendidiknya dengan ide-ide tentang pemurnian agama Islam.  Juga ditanamkan bahwa dia adalah manusia pilihan Nabi Muhammad yang diberi tugas sebagai penyelamat agama Islam.
Negara Saudi-Wahhabi pertama: 1744-1818
Di Najd, tempat kelahirannya, Ibnu Abdul-Wahhab mulai menyebarkan ajaran pemurnian agama versi Wahhabisme. Karena dianggap ekstrem, dia diusir dari sana. Dia kemudian pindah ke Dir’iyyah. Di sana intelijen Inggris berhasil membujuk penguasa lokal setempat yang tidak terlalu penting untuk mendukung “dakwah” Ibnu Abdul-Wahhab dengan iming-iming uang, dialah yang bernama Muhammad al-Saud.
Pada tahun 1744, keduanya mengikat komitmen aliansi politik, religius, dan hubungan pernikahan (dalam sumber lain disebutkan bahwa al-Saud dinikahkan dengan putri Ibnu Abdul-Wahhab). Dengan persatuan dalam ikatan kekeluargaan ini, yang mana masih bertahan sampai hari ini, Wahhabisme sebagai gerakan agama dan politik telah lahir.
Dengan dukungan dana dan persenjataan dari Inggris, aliansi Wahhabi-Saud mulai melancarkan gerakan teror di jazirah Arab dan Damaskus untuk mendirikan negara Saudi-Wahhabi pertama. Mereka membentuk pasukan untuk memerangi apa yang mereka sebut sebagai perilaku musyrik dan bid’ah.
Pada tahun 1801 mereka secara brutal menghancurkan dan merusak makam Husein bin Ali (cucu Rasul) di Karbala. Tanpa ampun mereka membunuh 4.000 warga Karbala, dan menjarah apapun yang dapat mereka ambil. Dikatakan mereka menggunakan 4.000 unta untuk mengangkut semua harta benda hasil jarahan karena saking banyaknya.
Pada tahun 1810, Wahhabi-Saud merampok, menjarah, dan membunuh penduduk jazirah Arab termasuk di kota Mekkah dan Madinah. Di Mekkah, mereka mengusir para peziarah. Di Madinah, mereka menyerang dan menodai Masjid Nabawi, membuka kompleks makam Nabi, dan menjarah benda-benda bersejarah dan permata yang bernilai sangat tinggi untuk dijual kembali.
Perilaku mereka menimbulkan kemarahan yang amat mendalam dari masyarakat Muslim pada waktu itu, hingga akhirnya Sultan Ottoman Mahmud II mengirimkan pasukannya untuk menumpas gerombolan Wahhabi-Saud. Imam mereka pada waktu itu, Imam Abdullah al-Saud, digelandang ke Istanbul dan dieksekusi di sana. Sementara itu pengikut Wahhabi-Saud lainnya dipenjarakan di Kairo.
Gerakan Wahhabi-Saud berhasil ditumpas waktu itu, namun mereka belum benar-benar punah. Ke depan, mereka masih akan bangkit kembali.
BAGIAN 3
Negara Saudi-Wahhabi kedua: 1843-1891
Meskipun gerakan kekerasan dan fanatik Wahhabisme telah ditumpas pada tahun 1818, mereka segera bangkit kembali atas bantuan Inggris. Keluarga Wahhabi-Saud yang tersisa kini melihat dengan cara baru, bahwa musuh mereka yang sesungguhnya adalah orang-orang Arab dan Muslim. Sementara itu Inggris, dan Barat pada umumnya, merupakan sahabat sejati.
Pada tahun 1820 Inggris menjajah Bahrain dan mulai berpikir untuk memperluas wilayahnya di area tersebut. Keluarga Wahhabi-Saud melihat ini sebagai peluang untuk mendapatkan pertolongan dan perlindungan dari Inggris.
Pada tahun 1843, Imam Wahhabi Faisal bin Turki al-Saud melarikan diri dari penahanan di Kairo dan kembali ke kampung halamannya di Najd. Di sana Imam Faisal mulai membuka komunikasi dengan Inggris. Proses komunikasi dengan Inggris membutuhkan waktu yang cukup panjang, hingga akhirnya pada tahun 1865 Inggris mengirim Kolonel Lewis Pelly, petugas resmi Inggris untuk urusan perjanjian, ke Riyadh untuk membicarakan kemungkinan perjanjian dengan keluarga Wahhabi-Saud. Untuk membuat Pelly terkesan, Imam Faisal mengatakan bahwa pada perang selanjutnya mereka akan membunuh siapapun tanpa pandang bulu.
Pada tahun 1866 keluarga Wahhabi-Saud menandatangi perjanjian persahabatan dengan Inggris, sebuah kekuatan kolonial yang pada waktu itu sangat dibenci Muslim karena penjajahan mereka di area itu. Sebagai timbal balik atas bantuan, uang, dan persenjataan dari Inggris, Wahhabi-Saud setuju untuk berkolaborasi dengan otoritas kolonial Inggris di area tersebut.
Karena sikap mereka yang mendukung kolonialisme, keluarga Wahhabi-Saud menjadi dibenci. Orang-orang Arab dan Muslim baik di dalam maupun di luar wilayah jazirah Arab marah besar kepada mereka. Di antara mereka adalah klan al-Rashid dari Hail, Arab Tengah, yang pada tahun 1891, dengan bantuan Ottoman, memutuskan untuk menyerang dan menumpas keluarga Wahhabi-Saud di Riyadh. Bagaimanapun, beberapa di antara mereka berhasil melarikan diri, di antaranya adalah Imam Abdurrahman al-Saud dan anak lelakinya yang masih remaja, Abdulaziz. Keduanya meminta pertolongan dan perlindungan kepada Inggris di Kuwait.
Negara Saudi-Wahhabi ketiga: 1902-?
Di Kuwait, Imam Abdurahman dan putranya, Abdulaziz, menghabiskan waktunya untuk mengemis dan memohon kepada tuan mereka, Inggris, untuk diberikan uang, persenjataan, dan bantuan untuk merebut kembali Riyadh. Pada akhir tahun 1800-an, Abdurrahman yang sudah menua menyerahkan kepemimpinannya kepada Abdulaziz. Dengan demikian Abdulaziz menjadi Imam Wahhabi yang baru.
Karena strategi Inggris di Jazirah Arab pada awal abad ke-20 adalah sesegera mungkin menghancurkan kekuatan Ottoman dan sekutunya klan al-Rashid di Najd, mereka memutuskan untuk mendukung Imam Abdulaziz. Didukung oleh Inggris, pada tahun 1902 Abdulaziz berhasil merebut kembali Riyadh. Salah satu tindakan biadab yang dilakukan Abdulaziz setelah mengalahkan klan al-Rashid adalah mengusung kepala mereka di atas tombak dan menempatkannya di tengah kota, guna meneror warga setempat. Dia dan pendukung fanatik Wahhabinya juga membakar lebih dari 1.200 orang sampai mati.
Dikenal dengan sebutan Ibnu Saud oleh Barat, Imam Abdulaziz sangat disukai oleh tuannya, Inggris. Banyak pejabat dan utusan Inggris di wilayah Teluk Arab sering bertemu dan berinteraksi dengannya, dan dengan murah hati mendukungnya dengan uang, senjata, dan konsultan. Imam Abdulaziz secara bertahap mampu menaklukkan sebagian besar Jazirah Arab dengan cara yang kejam di bawah panji-panji Wahhabisme untuk menciptakan Negara Wahhabi-Saudi ketiga, yang saat ini dikenal sebagai Arab Saudi.
Dalam mendirikan Arab Saudi, Imam Abdulaziz dan “Tentara Allah” Wahhabi-nya melakukan pembantaian yang mengerikan, terutama di tempat suci Islam Hijaz, yang mana mereka secara brutal mengusir Keluarga Syarif yang terhormat, mereka adalah anak keturunan Nabi Muhammad SAW. Di Turabah pada Mei 1919 mereka melancarkan serangan mendadak di tengah malam kepada tentara Hijazi dan dengan kejam membantai lebih dari 6.000 orang.
Sekali lagi, pada bulan Agustus 1924, kaum fanatik Saudi-Wahabi secara biadab masuk ke rumah penduduk di kota Taif, Hijazi, mengancam mereka, dan mencuri uang mereka dengan todongan senjata. Mereka memenggal anak-anak lelaki dan lelaki tua, dan merasa terhibur oleh jeritan dan tangisan kengerian dari para wanitanya. Banyak wanita Taif lari terbirit-birit bersembunyi di dalam sumur air untuk menghindari pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang Saudi-Wahabi yang biadab.
Kelompok primitif ini juga membunuh banyak Imam ketika mereka shalat di masjid-masjid; membakar sebagian besar bangunan di Taif hingga rata; tanpa pandang bulu membantai kebanyakan pria yang mereka temukan di jalan; dan mencuri sebanyak mungkin yang bisa diangkut. Lebih dari 400 orang yang tidak bersalah dengan cepat dibantai di Taif.
BAGIAN 4
Penaklukan Dua Kota Suci
Ketika pasukan Saudi-Wahhabi memasuki kota tersuci Islam, penduduk Mekkah yang ketakutan bersembunyi di rumah mereka, jalanan benar-benar sepi, pintu dan jendela rumah ditutup rapat-rapat. Saudi-Wahhabi secara brutal menerobos masuk ke rumah-rumah di Mekkah dan menghancurkan semua alat musik dan rekaman, gramofon, radio, rokok, pipa tembakau, gambar-gambar, dan cermin – oleh mereka pada waktu itu dianggap sebagai buatan Iblis.
Gerombolan primitif itu kemudian menggunakan rangka kayu dan pintu rumah penduduk Mekkah sebagai bahan bakar untuk memasak. Mereka juga mencambuk penduduk Mekkah yang mengenakan pakaian Barat, emas, parfum, atau sutera. Mereka juga merusak banyak kuburan, dan menghancurkan banyak pemakaman yang indah, merusak ornamen-ornamen masjid, dan kompleks suci yang telah berdiri selama berabad-abad yang mencerminkan masa lalu Islam yang mulia dan sejarah besar kota suci.
Selain itu, para penyerbu barbar itu secara biadab menghancurkan jejak-jejak peninggalan bersejarah Nabi Muhammad. Bangunan-bangunan bersejarah peninggalan Nabi dan para pengikutnya dihancurkan dengan alasan “agar tidak dijadikan tempat suci dan disembah.”
Setelah Mekkah, pasukan Wahhabi Imam Abdulaziz dengan kejam membombardir kota suci kedua, yaitu Madinah. Untuk menciptakan kengerian bagi seluruh Muslim di dunia, mereka bahkan membom dan menembaki makam Nabi Muhammad, membuatnya sangat rusak.
Pasukan fanatik Saudi-Wahhabi kemudian selama sepanjang tahun mengepung dan melumpuhkan kota pelabuhan Jeddah, mengakibatkan bencana kelaparan bagi penduduknya. Akibatnya, air minum praktis mustahil ditemukan dan penduduk miskin di Jeddah menghabiskan hari-hari mereka mencari makanan di tempat sampah. Banyak dari mereka bahkan mengambil dan memakan jagung yang tidak tercerna yang ditemukan di dalam kotoran unta. Setelah membombardir sebagian kota, para pejuang Saudi-Wahhabi akhirnya memasuki Jeddah dan segera menghancurkan saluran telepon, stasiun radio, dan tanda-tanda kehidupan modern lainnya, yang oleh mereka (pada waktu itu) dianggap tidak religius dan merupakan buatan Iblis.
Dalam rentang waktu selama 30 tahun mendirikan Arab Saudi (1902-1932), kaum fanatik Saudi-Wahhabi secara brutal telah membunuh dan melukai lebih dari 400.000 dari 4 juta orang Arab di seluruh Jazirah Arab; dan melakukan eksekusi kepada lebih dari 40.000 orang dan amputasi kepada lebih dari 350.000 orang di hadapan publik. Selain itu, teror Saudi-Wahhabi juga memaksa lebih dari satu juta penduduk Jazirah Arab melarikan diri untuk menyelamatkan hidup mereka ke bagian lain dunia Arab, dan tidak pernah kembali.
Tidak seperti masa sebelumnya ketika pasukan Dinasti Ustmaniyah (Ottoman) menumpas gerombolan ini, kali ini wilayah Arab dan Dunia Muslim sedang berada di bawah penjajahan kolonial Barat, sehingga gerombolan fanatik Saudi-Wahhabi dapat lolos dari segala hukuman. Mereka juga mendapatkan perlindungan dan keamanan di bawah kekuatan besar Inggris.
Setelah mendirikan Negara Wahhabi buatan Inggris, Imam Abdulaziz menjadi seorang diktator brutal yang mengendalikan segalanya secara pribadi. Dia menghancurkan kebebasan pers, partai politik, konstitusi, dan semua aparatur pemerintahan di Hijaz. Imam Wahhabi ini kemudian tanpa malu-malu menamai seluruh negeri dengan nama keluarganya sendiri, menyebutnya sebagai Kerajaan Arab “Saudi.”
Selain diktator, Raja Abdulaziz dikenal sebagai seseorang yang gila seks. Selain gundik-gundiknya yang tak terhitung jumlahnya, Imam Wahhabi yang “saleh” ini menikahi sampai sekitar 300 perempuan; bahkan beberapa dari mereka hanya dinikahi dalam satu malam. Sementara itu putra-putranya diperkirakan ada sampai sekitar 125 orang, dan untuk anak perempuannya, tidak ada yang tahu pasti berapa jumlahnya.
Selain itu, Imam Abdulaziz juga mendorong praktik perbudakan, dia memiliki ratusan budak yang diperkerjakan untuk dirinya dan keluarganya. Namun, untuk menghindari tekanan internasional, Wahhabisme dan Keluarga Saud akhirnya dipaksa untuk menghapuskan perbudakan pada tahun 1962. Hal memalukan lainnya yang datang dari Wahhabisme adalah ketika tahun 1969, sheikh terkemuka Wahhabi, Abdulaziz bin Baz, dengan tegas menyatakan bahwa Bumi itu datar, statis , dan Matahari berputar mengelilinginya.
BAGIAN 5
Pada bagian ke-5 ini, penulis masih akan melanjutkan pemaparan artikel yang dibuat oleh Dr. Abdullah Mohammad Sindi, seorang pakar politik dan hubungan internasional kelahiran Mekkah yang menurut Buya Syafii isinya sangat mendasar, tajam, dan argumentatif, dan oleh beliau disarankan dan ditekankan untuk dibaca agar kita dapat lebih memahami tentang Arab Saudi. 
Arab Saudi pasca Imam Abdulaziz bin Saud
Setelah kematian Imam/Raja Abdulaziz pada tahun 1953, semua putra yang menggantikannya (Saud, Faisal, Khalid, dan Fahad) juga sama-sama menjadi diktator brutal. Mereka juga meneruskan ketergantungannya yang sangat besar kepada musuh-musuh Islam dan Arab, yakni Barat, untuk perlindungan. Dan sejak Amerika Serikat (AS) menggantikan Inggris – dalam Perang Dunia II – sebagai kekuatan yang dominan di dunia Arab, Keluarga Wahhabi-Saud tanpa malu-malu menyerahkan Arab Saudi (tanah suci Islam) kepada musuh-musuh Islam dan membuatnya menjadi koloni virtual Amerika.
Tidak seperti ayah mereka, putra-putra Abdulaziz melepaskan gelar “Imam,” dan mereka lebih suka disebut sebagai “Raja” saja. Tapi pada akhir tahun 1986, Raja Arab Saudi saat ini (artikel ini ditulis oleh Dr. Abdullah Mohammad Sindi pada Januari 2004 – pen), Fahad (seorang playboy manja di masa mudanya), melepaskan baik gelar “Imam” maupun “Raja.” Dia lebih suka mengambil gelar sebagai “penjaga dua tempat tersuci” Mekkah dan Madinah, sebuah gelar yang pada awalnya digunakan oleh Sultan Dinasti Ustmaniyah, Selim I (berkuasa pada 1512-1520).
Setelah Arab Saudi menikmati kekayaan yang sangat besar dari hasil penjualan minyak, dalam beberapa dekade terakhir Wahhabisme tidak hanya berhasil membungkam sebagian besar kritik, tetapi juga secara dramatis mereka berhasil meningkatkan citranya di seluruh dunia Muslim. Oleh karena itu, Wahhabisme kini menampilkan dirinya sebagai penggagas “gerakan reformis” yang ingin “memurnikan” kembali ajaran Islam. Bahkan, nama “Wahhabisme” sendiri dengan sengaja telah mereka tenggelamkan, dan menggantinya dengan nama-nama baru yang lebih dapat diterima seperti “Gerakan Salafi” (ajaran para pendahulu) dan “Muwahhedoon” (unitarian).
Selain itu, pendiri Wahhabi, Mohammad bin Abdul-Wahhab, dicitrakan sebagai “orang besar” yang memiliki karakter dan pengetahuan yang luar biasa, yang seorang diri telah “menyelamatkan” Islam dari “takhayul.” Dengan demikian, didukung petro-dolar, Wahhabisme dalam beberapa waktu terakhir mulai merayap keluar dari Arab Saudi ke wilayah Arab dan Muslim di sekitarnya dalam upaya sia-sia untuk menghapus stigma sebagai tren minoritas dalam Islam.
Sementara itu, Keluarga Saudi-Wahhabi gagal total dalam membela Masjid Al-Aqsa di Yerusalem dan Palestina dari pendudukan ilegal dan brutal Israel. Mereka juga secara terbuka telah melakukan pengkhianatan yang memalukan karena telah bekerjasama dengan musuh Islam dan Arab, bukan hanya karena telah menjajah tanah mereka di Afghanistan dan Irak, tetapi juga dengan mengizinkan musuh untuk menduduki tanah suci itu sendiri (pada saat Perang Teluk tahun 1990-1991, atas undangan Arab Saudi, AS menempatkan pangkalan militernya di sana-pen. Lebih lengkap tentang lokasi-lokasi pangkalan militer AS di Arab Saudi silakan lihat tautan ini: https://militarybases.com/overseas/saudi-arabia/), yang mana membuat semua upaya mereka untuk meningkatkan citra Wahhabisme menjadi tidak berharga dan sia-sia.
Bertentangan dengan propaganda media Amerika saat ini setelah serangan teroris 11 September 2001, AS malahan masih sangat mendukung Keluarga Wahhabi-Saud. Bahkan, Wahhabisme telah menuruti perintah Amerika dengan mengubah kurikulum Islam di Saudi dan mengubah makna Jihad (menjadi “perang suci”) untuk membuat senang Washington. Kenyataannya, Keluarga Saud dan para pemimpin Wahhabi sama dibencinya oleh sebagian besar Muslim sebagaimana AS itu sendiri. Serangan teroris oleh fundamentalis Muslim Saudi (beberapa di antaranya terhubung dengan al-Qaeda dan Osama Bin Laden) di dalam Arab Saudi yang bertujuan untuk mendestabilisasi Wahhabi-Saud telah benar-benar meningkat dalam 10 tahun terakhir.
Faktanya, musuh-musuh Islam dan Arab, yaitu Israel dan AS, takut dan membenci Syiah (Iran dan Hizbullah) lebih dari sekte manapun dalam Islam yang lainnya, yang mana oleh sebagian besar umat Islam dianggap sebagai suatu kehormatan bagi Syiah, tidak seperti Wahhabisme yang secara memalukan telah gagal untuk memperolehnya (kehormatan).
BAGIAN 6
Hadits Nabi
Dua keluarga penguasa Saudi (Keluarga Saud dalam hal politik dan Keluarga Wahhabi dalam hal agama) berasal dari wilayah Najd, Arab Tengah. Mereka sangat dibenci oleh jutaan Muslim baik di dalam maupun di luar Arab Saudi, terutama di wilayah Hijaz, di mana banyak penduduknya yang secara rahasia terus merayakan Maulid Nabi Muhammad meskipun dilarang oleh Wahhabisme. Dalam sebuah Hadits terkenal, Nabi Muhammad berkata:
Ibnu Umar berkata, “Nabi berdoa, ‘Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Syam dan Yaman kami.’ Mereka berkata, ‘Terhadap Najd kami.’ Beliau berdoa, ‘Ya Allah, berkahilah Syam dan Yaman kami.’ Mereka berkata, ‘Dan Najd kami.’ Beliau berdoa, ‘Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Syam. Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Yaman.’ Maka, aku mengira beliau bersabda pada kali yang ketiga, ‘Di sana terdapat kegoncangan-kegoncangan (gempa bumi), fitnah-fitnah, dan di sana pula munculnya tanduk setan’.” (Mohammad Muhsin Khan, Sahih al-Bukhari: Arabic-English [al-Medinah al-Munauwara: Islamic University-Dar al-Fikr, n.d.], Vol. 9, p.166.)
Banyak Muslim di seluruh dunia yang benar-benar percaya bahwa “tanduk Setan” yang dimaksud oleh Nabi Muhammad pada hadits di atas tiada lain adalah dua keluarga durjana, yaitu Keluarga Saud dan Wahhabi yang reaksioner.
Juga, dalam Hadits Nabi Muhammad terkenal yang lainnya, dikatakan bahwa salah satu tanda yang mendekati akhir dunia adalah:
“Dan engkau menyaksikan orang yang tidak memakai sandal, telanjang lagi miskin yang menggembalakan domba, berlomba-lomba membuat bangunan yang tinggi.” (Sahih Muslim. Translation by Abdul Hamid Siddiqi, Vol. 1, [Lahore: Sheik Mohammad Ashraf, 1976], p. 2.)
Sekali lagi, banyak Muslim yang percaya bahwa dalam hadits kedua ini, Nabi Muhammad mengacu kepada Wahhabi-Saud. Faktanya, hanya beberapa dekade yang lalu sebelum minyak ditemukan di Arab Saudi, kedua keluarga ini memang miskin, bertelanjang kaki, dan menggembalakan kambing. Mereka tinggal di desa-desa dan oasis padang pasir Arab di bawah tenda-tenda yang terbuat dari kulit domba. Sekarang mereka telah memiliki beberapa gedung pencakar langit termegah di dunia Muslim dan menguasai kekayaan Arab Saudi yang sangat besar.

Kesimpulan
Dilihat dari catatan sejarah, sangatlah jelas, bahwa tanpa bantuan Inggris, baik Wahhabisme maupun Keluarga Saud tidak akan pernah ada. Wahhabisme adalah gerakan fundamentalisme dalam Islam yang dihembuskan oleh Inggris. Melalui pembelaannya terhadap Keluarga Saud, Amerika Serikat (AS) juga mendukung Wahhabisme secara langsung dan tidak langsung, terlepas dari serangan teroris pada 11 September 2001.
Wahhabisme berarti kekerasan, sayap kanan, ultrakonservatif, kaku, ekstremis, reaksioner, seksis, dan intoleran. Catatan sejarahnya yang berdarah-darah telah didokumentasikan dengan baik dan tidak dapat dihapus atau diabaikan oleh siapa pun. Semua perubahan tampilan Wahhabisme baru-baru ini untuk memperbaiki citranya tidak akan pernah dapat menipu orang-orang Arab dan Muslim yang berpendidikan.
Meskipun dalam beberapa tahun terakhir beberapa pemimpin Wahhabi telah mencoba “menjauhkan” diri mereka dari kebrutalan Keluarga Saud dan kebijakan-kebijakannya yang tidak Islami, dalam upaya sia-sia untuk menyelamatkan citra Wahhabisme dari kemerosotan lebih lanjut, namun sebagian besar pemimpin Wahhabi masih tetap teguh 100 % mendukung Keluarga Saud. Kenyataannya, sebagian besar pemimpin Wahhabi secara terbuka mendukung dan membela semua kebijakan domestik dan luar negeri  Keluarga Saud yang tidak populer, termasuk mengizinkan AS untuk menduduki tanah Islam dan Arab, serta untuk menghancurkan orang-orang Arab dan Muslim di Afghanistan dan Irak.
Sungguh, dua keluarga ini (Wahhabi dan Saud) tidak terpisahkan karena mereka terikat oleh garis keturunan dan pernikahan dari sejak tahun 1744. Aliansi dinamis mereka jelas diwujudkan hari ini dalam komposisi kelas penguasa Arab Saudi. Kenyataannya, persatuan di antara mereka lebih kuat dibandingkan persatuan lama antara Gereja dan Negara pada Abad Pertengahan di Eropa.
Ikatan yang erat Wahhabisme dengan dan dukungan dari Dinasti Saud, yang secara luas telah diakui menjadi salah satu kelas penguasa di dunia yang paling brutal, korup, anti-demokrasi, dan feodal, menjadikan akuannya sebagai ‘mewakili bentuk Islam yang terbaik.’ Ini telah jadi sasaran cemooh dan ejekan Muslim. Sekarang banyak orang Arab yang terdidik dan kaum Muslimin merasa bahwa Wahhabisme memberikan Islam sebuah nama yang buruk, menggambarkan sebuah belenggu reaksioner yang menghalangi orang Arab dan Muslim untuk maju. Sungguh, di kalangan sarjana-sarjana Sunni selama 250 tahun yang silam, baik yang konservatif maupun yang liberal, di seluruh dunia Muslim yang membentang dari Maroko sampai ke Indonesia, sebagaimana juga golongan Syi’ah dan Sufi, telah menolak Wahhabisme sejak kelahirannya sebagai suatu perubahan bentuk Islam yang mengerikan (khusus untuk alinea terakhir ini diterjemahkan langsung oleh Buya Syafii-pen).
Bersambung….


source : islamindonesia.id

Komentar

Postingan Populer