Mengapa Islam Menjadi Musuh Amerika (Barat)


Pada tahun 1987 di akhir Perang Dingin, seorang pejabat tinggi Soviet menjanjikan Amerika satu kejutan mengerikan terakhir. Kami, katanya, akan mencabut Anda, Amerika Serikat sebagai musuh. Pejabat Soviet itu ternyata lebih peka tentang politik Amerika daripada banyak orang di Washington. Di Pentagon (Departemen Pertahanan AS) masih ada stiker besar di beberapa ruang tertentu yang bertuliskan: “DICARI: MUSUH IDEAL !”

Melalui sebuah gugus tugas sangat rahasia, yang sebagian besar tidak akan pernah terungkap ke publik, pakar perencanaan politik dan militer Amerika telah bekerja keras mengembangkan ancaman eksternal dan global untuk mengkompensasi hilangnya Uni Soviet dari daftar puncak musuh Amerika Serikat dan Dunia.
Hanya dalam waktu relatif singkat, Pentagon telah sangat berhasil dalam membebaskan diri dari histeria ketakutan ancaman pemotongan anggaran sebagai konsekwensi hilangnya Uni Soviet sebagai musuh nomor satu. Tanpa kehadiran musuh yang dapat dihadirkan di seluruh ruang tamu dan ruang tidur setiap keluarga Amerika, anggaran Pentagon yang luar biasa besar akan kelihatan seperti perampokan terhadap uang pajak rakyat Amerika.

Ancaman bahaya harus ada. Jika tidak ada, harus diciptakan agar ada. Kehampaan ancaman bahaya akan memicu publik dan politisi untuk banyak bertanya untuk apa uang rakyat dihamburkan, kemana pergi uang pajak rakyat triliunan dolar pada masa lalu, sekarang dan masa mendatang. Harus ada justifikasi untuk setiap sen dolar yang dikucurkan pemerintah untuk Pentagon, CIA, dan puluhan lembaga/institusi Amerika yang kelahiran dan keberadaannya hanya relevan jika ancaman bahaya itu ada. Mereka bukan NASA, yang sudah puluhan tahun berdiri, menghabiskan ratusan miliar dolar, namun tidak pernah digugat eksistensinya, meski sampai hari ini gagal menemukan kehidupan lain di luar bumi. Pentagon tidak menikmati keistimewaan seperti NASA.

Musuh besar, idealnya harus lebih mengerikan dari mimpi buruk perang nuklir yang menghantui rakyat Amerika harus segera diciptakan, sebelum semua pihak mulai mengajukan terlalu banyak pertanyaan.

Gugur Tugas Rahasia itu mungkin menemukan keberuntungannya dengan aksi 11 September 2001 atau sebaliknya, Gugus Tugas itu yang menuntun dan memfasiltasi mereka agar ‘deadline’ itu tidak benar-benar menjadi garis mati. Sejumlah uang besar dari Washington dikirim ke Panglima Angkatan Bersenjata Pakistan dan setelahnya berpindah tangan dari satu ke lainnya, sampai akhirnya bermuara untuk pelatihan dan pembiayaan para pelaku penyerangan menara kembar di jantung industri keuangan Amerika Serikat, pada waktu yang telah ditentukan: Presiden Bush Junior meraih keuntungan berlipat ganda di atas darah dan nyawa ribuan rakyat Amerika.

Bush Junior terpilih kembali? Sudah pasti. Namun, prestasi terbesar adalah kelahiran ‘musuh paling menakutkan Amerika’ yang dapat bertahan setengah abad seperti pendahulunya, Uni Soviet dengan Blok komunisnya.

Saya tidak tahu apakah tesis Huntington “Islam dan Barat: Sebuah Benturan Peradaban,” memang dimaksudkan sebagai prakondisi penciptaan musuh baru, berkedok basis akademis atau Huntington sendiri kaget setengah mati, ketika tesisnya yang memprediksi potensi, ternyata menjelma menjadi ancaman bahaya yang jauh melampaui pikiran, bahkan mimpi dalam tidurnya.

Para kontraktor pertahanan Pentagon, para pakar penciptaan ‘program ancaman dan pembiayaan senjata’, kini dapat menarik nafas lega. Terbayangkan, untuk selama 50 tahun ke depan, kelahiran musuh baru yang menciptakan program baru “Perang Global Terhadap Terorisme Islam” telah menjadi dewa penyelamat dari ancaman kebangkrutan ratusan korporasi rekanan Pentagon.  Eksploitasi kesengsaraan umat manusia dalam bentuk yang lebih mutakhir, sudah menari-nari di depan mata.

Berbeda dengan musuh lama, Uni Soviet-Blok Komunis, yang mudah ditunjukkan pada peta dunia keberadaan dan lokasinya, Terorisme Islam tidak kasat mata, memudahkan telunjuk mengarah ke mana saja pada peta dunia. Namun, untuk pertama kali, aksi militer harus dilancarkan sebagai ‘pembalasan dendam’ Amerika kepada ‘para musuh’ yang telah berani menyerang langsung ke jantung finansial dan kota kebanggaan Amerika.

New York pada 11 September 2001 ibarat Pearl Harbour, Hawai pada 7 Desember 1941. Jumlah korban tewas New York yang hampir dua kali lipat Hawai, dapat ditolerir sebagai dampak inflasi setelah sekian puluh tahun tanpa serangan musuh asing langsung ke teritorial domestik Amerika.

Irak dan Afganistan, menyusul Suriah, lalu merembet ke seluruh negara Islam di dunia. Ini merupakan perang besar dan panjang, yang harus dipahami rakyat Amerika jika ingin tidur nyeyak tanpa dihantui mimpi aksi terorisme. Maka, tak mungkin ditolak rencana modernisasi persenjataan militer, intelijen, aksi kontra terorisme, kampanye perang global terhadap Terorisme Islam dengan penambahan anggaran baru ratusan miliar dolar per tahun. Tayangan super dramatis, mengekspoloitasi kematian dan jerit tangis penderitaan korban, keruntuhan menara pencakar langit kembar, ancaman bahaya kiamat dunia di hadapan mata rakyat Amerika, merupakan modal politik sempurna bagi Bush dan presiden Amerika selanjutnya untuk sekali lagi mengatakan kepada dunia: “You’re either with us, or against us!”

Kalimat itu digunakan Bush Junior pada 6 November 2001, kurang dari dua bulan pasca serangan teroris 11 September 2001. Banyak kalangan secara langsung menghubungkan penggunaan ancaman Bush ini dengan ancaman serupa oleh Hitler yang bersifat mutlak, di mana negara-negara yang tidak memberikan semacam dukungan langsung, politik atau finansial untuk kepentingan perang melawan teror yang dilancarkan Amerika Serikat di mana saja di seluruh dunia, dianggap sebagai musuh Amerika dan sangat mungkin – sebagai musuh, akan menjadi sasaran penyerangan militer Amerika berikutnya. Terlebih kepada negara yang secara terbuka menentang aksi militer Amerika melawan terorisme global Islam, mereka segera menduduki top list musuh Amerika.

Presiden Bush mengklaim banyak negara sudah memberikan dukungan militer dan politik atau dengan cara lain membantu memerangi terorisme. Amerika Serikat sekarang menjadi sekutu sekaligus pemimpin dari negara-negara itu. Dan sekarang setelah 11 September, satu-satunya negara yang punya alasan terkuat secara aktif memerangi terorisme adalah Amerika.

Dalam sebuah konferensi pers bersama Presiden Prancis Jacques Chirac, Presiden Bush telah menungungkap semua agenda politiknya.  Dia berusaha menimbulkan kepercayaan domestik Amerika dan dunia bahwa tindakan yang ditempuhnya adalah untuk melindungi Amerika Serikat dari serangan terorisme di masa depan pasca 11/9.

Irak, yang secara harfiah historis adalah sekutu Amerika khususnya dalam menghadapi Republik Islam Iran di era 80an, secepat kilat berubah menjadi musuh pertama yang harus dihancurkan Amerika melalui pengerahan kekuatan militer besar-besaran, dengan tuduhan sumir: menyembunyikan Osama Bin Laden, pimpinan Al Qaeda dan seterusnya, yang kemudian berubah cepat menjadi tuduhan palsu: memproduksi senjata pemusnah massal, ketika tidak ada tanda-tanda Al Qaeda dan Osama bin Laden telah menetap di Irak.

Setelah Irak hancur porak poranda, mencatatkan satu juta korban jiwa manusia warga Irak, sebagai bukti kehebatan mesin dan amunis pencabut nyawa dari militer tercanggih Amerika dan produk baru para kontraktor rekanan departemen pertahanan Pentagon,  menyusul Afganistan menjadi sasaran serangan.

Beda dengan Irak, Amerika tidak berani bertindak brutal secara langsung dan terbuka. Medan perang Afganistan penuh lembah, bukit dan pegunungan berbeda dalam segala hal dengan medan perang Irak yang didominasi hamparan gurun pasir, di mana segala jenis teknologi persenjataan baru Amerika dapat diujicobakan. Meski begitu, seperti Uni Soviet yang tunduk dipermalukan pejuang mujahidin Afganistan tiga puluhan tahun lalu, Amerika juga bernasib sama. Modifikasi peliputan media menjadi penolong satu-satunya yang menyelamatkan citra Amerika selama mengorbarkan perang di Afganistan.



Setelah Bush Terbit Obama

Setelah Bush pergi, Obama datang. Lagi-lagi dengan kuda tunggangan Perang Global terhadap Terorisme Islam. Terlebih bagi Obama, propaganda dan aksi militer ini bersifat pribadi. Selama waktu kampanye dan di awal masa jabatan presidennya, Obama disandera gugatan berbagai kalangan di dalam negeri Amerika, yang meragukannya sebagai kristiani, menuduhnya sebagai muslim. “Barrack Husein Obama adalah muslim” sebagai mana tercantum dalam kolom agama di rapor sekolah dasarnya, ketika bersekolah di Jakarta, Indonesia-negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, demikian gugatan itu mencuat dari berbagai pihak yang belum dapat menerima Amerika dipimpin seorang hitam dan Islam. 

Perang Global terhadap terorisme Islam dengan cepat berubah menjadi perang pribadi Obama. Dia harus membuktikan sebagai nasrani di hadapan rakyat Amerika, dan untuk itu dia harus dapat mengobarkan perang dan permusuhan kepada Islam dan negara-negara Islam yang lebih besar, lebih hebat, lebih mematikan daripada semua perang legasi Bush sebelumnya.

Tekad Obama menegaskan dirinya sebagai kristen sejati diwujudkannya melalui penghancuran total Timur Tengah. Tidak ada upaya serius dan nyata Amerika selama Obama berkuasa untuk mencegah meluasnya neraka dunia di Timur Tengah. Mengutip pernyataan Presiden Rusia Vladimir Putin: “Legacy terbesar Obama adalah kehancuran Timur Tengah”. 

ISIS (Negara Islam Irak Suriah) sudah terungkap merupakan kelompok milisi yang diciptakan, dibiayai dan dilatih oleh Amerika pada masa pemerintahan Obama. Amerika menciptakan ISIS untuk menggulingkan pemerintah Irak dan Suriah yang menjadi sekutu Rusia dan Iran. “ISIS adalah alat Amerika untuk menanam pengaruh di Irak dan Suriah. Amerika bermaksud menggulingkan pemerintah yang sah hanya karena pemerintah di kedua negara itu lebih dekat dengan Rusia ketimbang Amerika,” tegas Putin dalam berbagai kesempatan kepada media.

Jika kemudian, beberapa negara di dunia latah menuding kelompok radikal domestik sebagai ISIS, itu tidak lain sebagai upaya menjilat Amerika dengan turut menggunakan isu ISIS untuk mempertahankan kekuasaan pemerintah dan mendapat bantuan dari Amerika/Barat.

ISIS sejatinya adalah kelompok kapitalis yang menjadikan syiah dan sunni sekaligus sebagai musuh. Di Irak dan Suriah, ISIS menjadi pemberontak terhadap pemerintahan yang sah. Di negara-negara Arab yang Sunni, ISIS menjadi kelompok teroris terhadap pemerintahan Sunni.

Mengikuti jejak Bush menunggangi aksi teror 11/9 untuk meraih kekuasaan periode kedua, Obama dengan dukungan media Amerika yang mayoritas liberalis demokrat, berhasil mengukir prestasi luar biasa sebagai tiket menduduki jabatan presiden periode kedua. Operasi Penangkapan Osama Bin Laden oleh pasukan khusus SEAL Amerika langsung menginvasi lokasi target di teritorial kedaulatan Pakistan, yang diklaim Obama sebagai tempat persembunyian Osama. Operasi Obama memburu Osama menjadi kisah sukses tanpa eksistensi tokoh antagonisnya: Osama Bin Laden. Itu adalah operasi menangkap siluman, memusnahkan hantu. Sejak awal operasi hingga pengumuman pernyataan resmi Obama kepada rakyat Amerika bahwa musuh terbesar rakyat Amerika sudah berhasil dibinasakan, Osama Bin Laden yang disebutkan telah ditembak mati itu tak sedetik pun mampu ditunjukan. Sepotong informasi yang mengatakan bahwa mayat Osama langsung dibuang ke laut sesaat setelah ditembak mati, telah menjadi penutup semua kebohongan Obama.

Setelah fasis lahirlah komunis. Setelah komunis runtuh, diciptakanlah teroris. Dan kali ini-untuk selama puluhan tahun ke depan, terorisme itu bernama terorisme Islam.

Di belahan dunia lain, satu miliar umat Islam dilanda kebingungan, Amerika yang dulu selama puluhan tahun tak pernah menyinggung-menyebut Islam, sekarang tanpa dimengerti sebab musababnya, umat Islam di mana pun berada di seluruh dunia mendadak masuk dalam satu kelompok: musuh terbesar Amerika.



Islam dan Indonesia

Usaha menjadikan Islam sebagai musuh Indonesia berulang kali dilakukan, mulai dari era Demokrasi Terpimpin Sukarno 1959-1965 hingga era pasca reformasi 1998-2018.

Era Sukarno, Islam menjadi musuh negara melalui berbagai stigma: Islam anti revolusi, Islam ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam hingga Islam sebagai musuh besar Pemimpin Revolusi Bung Karno. Banyak tokoh Islam ditahan dengan berbagai fitnah, termasuk Buya Hamka yang dituduh bermaksud membunuh Bung Karno. Puncaknya, melalui pembentukan Nasakom (nasionalis, agama, komunis) yang menjadi kedok Bung Karno untuk melancarkan serangan terakhir kepada Islam agar revolusi komunis Indonesia dapat mengantarkan Indonesia menjadi sepenuhnya negara komunis.

Era Orde Baru, Islam yang awalnya menjadi sekutu Suharto dalam penumpasan PKI/komunis, secara bertahap disingkirkan. Setelah kekuatan politik Islam menyusut drastis, pada tahun 1980 Islam mulai distigmakan sebagai kelompok teroris melalui rekayasa pembajakan pesawat Garuda Wolya oleh Jamaah Imran. Pemilihan modus Pembajakan pesawat Garuda itu sendiri ditetapkan LB Murdani meniru pembajakan pesawat Prancis oleh teroris Jerman yang bekerjasama dengan pejuang Palestina beberapa tahun sebelumnya. Setelah itu, tudingan Islam anti Pancasila dan penciptaan beberapa aksi terorisme yang mengaitkannya dengan Islam terus terjadi dan menjadi alasan bagi pemerintah untuk melakukan pembantaian terhadap umat Islam.

Situasi berubah ketika Suharto merasa terancam kekuasaannya oleh manuver LB Murdani yang didukung sebagian besar jenderal TNI AD, CSIS dan China. Suharto merangkul Islam dan menjadikan Islam sebagai sekutu dalam menghadapi musuhnya. Periode 1988 hingga 1998 adalah masa di mana Islam baru benar-benar merasakan kemerdekaannya dan menikmati kemerdekaan Indonesia.

Reformasi 1998 mengakhiri bulan madu Islam dan pemerintah Indonesia. Pasca reformasi, terorisme Islam kembali marak, sengaja diciptakan untuk mengembalikan posisi Islam sebagai musuh negara, terutama setelah Amerika melalui Presiden Bush mengobarkan perang global terhadap terorisme (Islam). Persis 1 tahun, 1 bulan, 1 hari Bom Bali I meledak, menempatkan Islam Indonesia menjadi bagian dari musuh Amerika dan Barat. Musuh-musuh Islam di Indonesia, secara cerdik kembali menumpang isu global dengan menjadikan Islam sebagai sasaran fitnah untuk meraih kekuasaannya.

Usaha menjadikan Islam sebagai musuh negara sempat berhenti pada era SBY, namun marak kembali di era Jokowi. Berbagai tudingan dialamatkan kepada Islam. Di mulai dari KPK yang berhasil ditunggangi. Melalui KPK mencuat labelisasi “Islam Korup”, sebagai variasi dari rekayasa aksi terorisme yang menjadikan gereja sebagai sasaran serangan.

Setelah Jokowi berkuasa, aksi terorisme Islam jadi-jadian ini makin menggila. Ada ISIS dan Islam Radikal yang dijadikan hantu oleh penguasa. Semua usaha ini sebenarnya adalah sama dan sebangun dengan usaha Amerika: menjadikan Islam sebagai musuh dunia. Sebuah usaha yang sia-sia karena Islam bukan komunis atau Uni Soviet yang pernah dihancurkan Amerika. Islam tidak sekedar agama, lebih dari itu, Islam adalah peradaban manusia. Menghancurkan Islam sama saja dengan menghancurkan peradaban manusia. Menghancurkan Islam sama saja mempercepat datangnya kiamat dunia.

Di Indonesia, upaya menghancurkan Islam sejatinya menghancurkan Indonesia itu sendiri: Indonesia sebagai negara, sebagai bangsa dan sebagai peradaban manusia yang eksis di bumi nusantara.



By. Kotak Pandoras

Komentar

Postingan Populer