[Kolom] Negeri "Ngacengan"


By. Mr.A~
Sudah beberapa tahun ini Indonesia mengalami ‘ke-ngaceng-an’. Ya, kondisi syahwat negara ini memang gampang sekali ngaceng karena ajang perebutan kekuasaan. Semua orang pada ngaceng, kubu sana ngaceng, kubu sini ngaceng, kubu sebelahnya ngaceng, kubu sebelahnya ngaceng juga. Bahas tokoh A, ngaceng. Bahas tokoh B, ngaceng. Bahas agama A, ngaceng. Bahas agama B, ngaceng. Bahas ideologi A, ngaceng. Bahas ideologi B, ngaceng juga. Hal-hal yang begitu sepele, dibesar-besarkan. Ada kasus yang sepele, dibesar-besarkan juga. Bahkan beritanya hingga kini masih santer terdengar. Nuntut inilah, nuntut itulah. Katanya musim pilpres 2019 ini harus damai, harus adem. Mereka dengan bangga dan percaya diri mengkampanyekan musim pilpres yang damai dan adem, tapi untuk kasus yang sepele saja selalu dibesar-besarkan. Black campagin-lah, negative campagin-lah. Mereka berbicara A tapi kelakuan Z, ngacengan! Disentuh sedikit saja langsung tegang.

Yang lebih ajaib, mereka ngaceng-nya diumbar, diperlihatkan ke semua orang. Entah maksudnya apa, atau mungkin mereka yang ngaceng itu ingin menegaskan bahwa ngacengnya mereka itu lebih keras, lebih besar, sehingga makin besar ngacengnya, malah semakin memuaskan mereka, dan membuat yang tadinya ngaceng setengah keras, jadi tidak ngaceng lagi. Atau yang lebih parah, dibuat tidak bisa ngaceng seumur hidup. Yang satu memperlihatkan bahwa punya mereka itu besar, hitam, sehingga membuat banyak orang tergila-gila bahkan sampai rela dipoligami. Yang satunya memperlihatkan bahwa punya mereka setengah besar, namun tidak terlalu hitam, pas [katanya] sehingga dirasa cocok dengan kultur budaya yang ada di negara ini. Tapi untungnya apa? Memperlihatkan ‘ke-ngaceng-an’ ke semua orang merupakan tindakan yang teramat bodoh. Memamerkan ‘ke-ngaceng-an’ ke semua orang dan menganggap ngacengnya mereka yang paling keras, merupakan tindakan yang menjijikan.

Yup, pada kenyataannya kubu-kubu itu mengklaim sebagai kubu yang peduli kepada kondisi negara, mengklaim paling nasionalis, mengklaim paling beriman. Namun setelahnya mereka sama-sama akan menempati ‘kasta’ yang disebut fasis.
Mereka mudah teringgung ketika ada kritikan ke Jokowi, ke Prabowo, maupun ke Islam dan Kristen. Para pejuang akhir zaman-lah, para pejuang nasionalis-lah, gusti mboten sare-lah. Pokoknya mereka mengklaim kelompok mereka-lah yang paling benar sehingga satu kritikan pun yang datang ke kubu mereka, akan mereka hilangkan secepat dan sebisa mungkin. Karena bagi mereka tokoh yang diidolakan tidak pernah berbuat salah. Bahkan dengan gampangnya membanding-bandingkan kesalahan idola mereka dengan idola dari kubu yang lain. Mereka gampang ‘ngaceng’ ketika ada orang lain yang menyentuh idola mereka.
Menutupi kesalahan diri sendiri dengan kesalahan orang lain merupakan tindakan yang tercela. Membandingkan kesalahan yang dilakukan oleh diri sendiri denga kesalahan yang dilakukan oleh orang lain merupakan tindakan yang tidak terpuji. Kenapa kita tidak mengakui kesalahan yang kita buat? kenapa harus menyeret kesalahan orang lain? Seolah kesalahan yang kita buat adalah kesalahan yang kecil, sehingga kita merasa bersalah atas kesalahan yang kita perbuat. Apakah saya lebih baik dari kamu? Apakah kamu lebih baik dari saya? Apakah kesalahan yang saya buat lebih parah dari kesalahan yang kamu buat? Apakah kesalah yang kamu buat tidak lebih parah dengan kesalahan yang saya buat? Apakah kalian sudah merasa bahwa kalian suci? Saya jadi teringat sebuah cerita tentang seorang tamu yang lebih memilih meminum air comberan daripada meminum air bersih dan enak yang disuguhkan. Kata pemilik rumah, air comberan itu kotor, najis. Lalu dengan gampangnya tamu itu berkata bahwa “apakah kamu lebih suci dari air comberan ini? apakah kamu bisa menjamin bahwa air yang kamu suguhkan benar-benar air yang suci?”.

Komentar

Postingan Populer