Terkait Kasus Korupsi, Jokowi Lebih Mengerikan Daripada Sandiaga Uno

Sedikitnya ada 8 (delapan) kasus hukum Sandiaga Uno, dua di kejaksaaan dan sisanya di KPK. Kita tunggu diungkap semua kasus ini di depan sebelum hari pelaksanaan pilpres 9 April 2019 agar rakyat tidak kagetan saat memberi pilihan suara di TPS mendatang.
Dengan demikian, Sandiaga Uno sebagai cawapres dapat dipastikan Clean & Clear, atau hanya menjadi bom waktu abadi.
Mungkin situasi yang dihadapi Sandiaga Uno sehubungan dengan mencuatnya kembali dugaan korupsi dan pelanggaran hukumnya setelah dia resmi menjadi cawapres, hampir sama dengan capres Jokowi pada 2012-2014 lalu. Jokowi malah lebih parah karena dugaan korupsi yang terkait dengan dirinya hampir dua puluh kasus, yang sebagian besar terjadi ketika Jokowi menjabat walikota Surakarta. Sebut saja: Dugaan korupsi pelepasan Hotel Maliyawan, Penyalahgunaan Dana Hibah KONI Surakarta, Korupsi Videotron Manahan, Korupsi Dana BPMKS, Dana Bantuan Banjir, Penyelewengan Deposito Pemkot Solo, Renovasi THR, Pengadaan Mobil Dinas Esemka untuk walikota, Korupsi Dana Perjalanan Dinas, dan seterusnya.
Tidak tanggung-tanggung, semua dugaan korupsi Jokowi saat menjabat Walikota Solo itu lengkap dengan dokumen pendukungnya,  dan sudah dapat dinilai layak untuk ditingkatkan ke tahap selanjutnya: penyidikan. Namun apa mau dikata, semua upaya dari berbagai kalangan yang melaporkan, mendesak, menuntut aparat hukum di Kejaksaan, Kepolisian dan KPK, selalu kandas seperti melempar batu ke sungai. Terdengar bunyi sekali, setelah itu senyap. Pada saat itu, hanya dugaan yang dapat dilontarkan berbagai kalangan terkait tembok penghalang di sekeliling Jokowi yang mencegahnya dapat dijadikan tersangka korupsi.
Tangan Sakti Pelindung Korupsi Jokowi
Ada kekuatan dan kekuasaan luar biasa besar melindunginya sehingga tak satu pun institusi penegakan hukum Indonesia dapat menyentuh Jokowi. Sebagian besar tudingan diarahkan kepada Amerika Serikat dan China sebagai pelindung korupsi-korupsi Jokowi, walau pun di kemudian hari tudingan itu lebih banyak kelirunya.
Seiring perjalanan waktu, semakin banyak indikasi, petunjuk dan bukti, yang mengarah kepada sosok Presiden SBY sebagai pelindung nomor satu Jokowi sejak tahun 2010 sampai 2014.
Diduga SBY melindungi Jokowi tidak hanya terbatas dari jeratan hukum terkait korupsi melainkan juga perlindungan terhadap keamanan dan keselamatam jiwa Jokowi. Pada sebuah kesempatan, Presiden SBY pernah meminta para staf tertentu untuk lebih cermat dan cekatan dalam memberi perlindungan terhadap Jokowi.
SBY tidak ingin nasib Jokowi sama seperti almarhum Taufik Kemas, yang meninggal dunia mendadak setelah sehari sebelumnya mengaku merasa sakit dan hari sebelumnya lagi, TK terlibat perdebatan panas yang tidak menghasilkan solusi mengenai permintaan Presiden SBY kepada TK dan Megawati agar segera mengusung Jokowi sebagai capres dari PDIP. Permintaan itu disebut SBY sebagai aspirasi khusus yang langsung datang dari penguasa nomor satu Gedung Putih, Washington DC, yang disampaikannya kepada SBY ketika mereka bertemu di Washington, Amerika Serikat pada 29-30 Mei 2013.
Terakhir kali SBY melindungi Jokowi dari jeratan hukum adalah pada kasus korupsi pengadaan Bus Trans Jakarta, yang diimpor dari China, merugikan keuangan negara sedikitnya Rp105 miliar berdasarkan temuan audit BPK.
Beberapa pejabat Dishub DKI Jakarta menjadi tersangka korupsi Bus Trans Jakarta, termasuk Kadishub Udar Pristono. Mereka menjadi tersangka, berawal dari menjalankan perintah atasan yaitu Gubernur Jakarta Jokowi, yang secara langsung memanggil Udar datang ke ruangan kantornya dan memerintahkan untuk membantu Bimo Putranto, teman dekat, pendukung utama Jokowi sejak di Solo, yang juga merupakan putra mantan walikota Solo, sebelum Jokowi.
Kasus korupsi Bus Trans Jakarta dapat dipastikan akan menyeret Jokowi sebagai tersangka, bilamana tidak ada intervensi dari Presiden SBY, yang memerintahkan Jaksa Agung Basrie Arief untuk menunda penetapan tersangka Jokowi, sehubungan dengan telah masuknya tahapan masa kampanye para peserta pilpres 2014, di mana Jokowi adalah salah satu capres yang mengikuti kontestasi pilpres 2014.
Setelah ditunda,  sprindik atau surat perintah penyidikan Kejagung dengan atas nama Joko Widodo dalam kasus korupsi pengadaan Bus Trans Jakarta, entah bagaimana nasibnya. Hilang tak tahu rimbanya dan tak pasti kapan kembali.
Dugaan Korupsi Uno
Kembali ke isu kasus korupsi Sandiaga Uno yang dengan sengaja dicuatkan kembali oleh pihak tertentu, dengan motif dan tujuan tertentu pula.
Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap Eni Maulani Saragih ternyata gagal tangkap tangan Idrus Marham. Entah apa kesepakatan Istana dan KPK, Idrus Marham diberi kesempatan sekitar satu bulan untuk mempersiapkan dirinya sebagai tersangka, menyiapkan bukti dan petunjuk yang bisa digunakan KPK untuk menjerat Dirut PLN Sofyan Basir, yang mudah diduga publik kemana arah selanjutnya: Jusuf Kalla.
KPK sangat tidak mungkin menjerat wapres JK sebagai tersangka, dan memang tidak kesana arahnya. Bagi KPK, adalah sudah cukup dan sesuai dengan pesanan Istana, bilamana KPK dengan kasus hukum di seputar Sofyan Basir, dapat memaksa JK untuk tidak all out mendukung Prabowo dan Sandiaga Uno di Pilpres 2019.
Bagi Capres Jokowi terutama para dalang di belakangnya, dengan melumpuhkan JK, mereka dapat menggefektifkan dukungan aparat Polri di seluruh tanah air. Tidak ada lagi JK yang sering mengintervensi rencana dan skenario para dalang Jokowi melalui penunggangan institusi Polri.
Melumpuhkan JK berarti memaksa Sandiga Uno merogoh lebih dalam ke saku Edwin Suryadjaya dan para cukong kelompok pendukung Sandiaga Uno, karena aliran logistik pilpres dari keran JK dan Aksa Mahmud disumbat melalui penyanderaan JK dengan kasus hukum tertentu oleh KPK.
Sandiaga Uno di mata KPK sudah seperti pohon rindang yang sedang banyak berbuah. Sebagian buah itu sudah ranum menunggu dipetik. Kasus-kasus hukum yang secara implisit diarahkan KPK untuk menjerat Sandiaga Uno, hanyalah untuk kepentingan pembentukan opini negatif terhadap diri Uno, yang diharapkan dapat membantu meningkatkan peluang Jokowi agar tidak kalah terlalu telak dari Prabowo Uno.
KPK misalnya, telah menetapkan status tersangka korupsi korporasi kepada bekas perusahan Uno PT DGI, yg sekarang entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba bisa menjadi milik Hendropriono, mentor Jokowi yang paling senior.
Prediksi saya, dua kasus pidana umum, 6 kasus korupsi, 2 pencucian uang (saham Garuda dan transfer pricing Adaro) yang sudah lama berjalan, namun hanya menjerat pihak lain seperti Nazaruddin, mantan Bendum Partai Demokrat.
Penyebutan nama Sandiaga Uno atau pemanggilan dalam rangka pemeriksaan oleh KPK, mudah ditebak kemana arah dan tujuannya. Sebagai warga negara, terus terang saya makin jijik melihat kebejatan KPK dalam penyalahgunaan kewenangannya.
KPK tidak lebih dari alat mafia hukum dan mafia politik. Alat untuk menghasilkan kekayaan dan kekuasaan, alih-alih sebagai alat penegak hukum dan penjamin keadilan. KPK bagi banyak orang yang paham adalah iblis berwajah malaikat, memperdaya menyesatkan dan menjerumuskan siapa yang dikehendakinya ke dalam perangkap kasus korupsi: ada atau tidak ada bukti adalah urusan nomor 102 !
Kesimpulannya, kasus hukum Sandiaga Uno lebih sedikit, lebih samar dibandingkan kasus-kasus korupsi Jokowi selama jadi walikota Solo, Gubernur Jakarta dan Presiden Indonesia.
Jadi San, wolesss aja !

Komentar

Postingan Populer