APA KABAR "KIRI" INDONESIA?

Marxis dogmatis, perlu disekularisasi?
Goenawan Mohamad: "Betulkah teori masih diperlukan saat ini?" Fajrul Rahman: "Bisakah menjadi 'kiri' tanpa menjadi Marxis?"

"Marxism is not a dogma, but a guide to reality" tulis John Percy,
Sekretaris Nasional Socialist Democratic Party (DSP) Australia, dalam
makalah "Relevance of the 'Communist Manifesto' Today",  Januari 1998. Percy
terang menyatakan "keliru" dogmatisasi teori-teori Marx. Barangkali ia pun
mau menyanggah terdapatnya kecenderungan demikian pada sebagian 'orang-orang
kiri'. Kalau begitu tidak diperlukan 'sekularisasi' seperti dimajukan
Peneliti Lakpesdam NU Ulil Abshar Abdala?

Pekan silam sebuah diskusi terbuka tentang Teori dan Gerakan Kiri Indonesia
digelar di Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta. Ketua Partai Rakyat Demokratik
(PRD) Budiman Sudjatmiko tampil bersama penulis "Nasionalisme Mencari
Ideologi" (Nationalism in Search of Ideology) J. Elesio Rocamora sebagai
pembicara. Kritik kedua pembicara dan sebagian besar peserta memicu gagasan
anti-dogmatisme Marxisme tadi.

Ditengarai kemunduran faham dan gerakan 'kiri' -kalau tak disebut gagal
bersalah satu sumber dari terjadinya 'pengagamaan' terhadap Marxisme.
Diskursus sepanjang tiga dekade belakangan pun kerap menyebut-nyebut
determinisme 'manifesto' sebagai biang keteledoran orang-orang Marxis. 

Budiman Sudjatmiko saat memaparkan perkembangan gerakan 'kiri' Indonesia
melontarkan beberapa kritik kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). "Sampai
saat ini betapapun belum muncul organisasi Marxis besar selain PKI," terang
Budiman.

Toh, menurut Budiman, PKI malah tidak banyak memberi kontribusi wacana
secara nyata, "Justru di tahun-tahun keemasannya". Budiman memaksudkan
periode 1960-an di mana PKI menjadi salah satu parpol terbesar selain PNI
dan NU. Peran kritis partai justru menguat di kurun tahun 1920-an.

Karakter PKI sebagai partai pelopor lebih kentara dan banyak memunculkan
debat-debat kritis. "Analisa Snevliet tentang perlunya mengorganisir
kekuatan kaum tani di luar kaum buruh mendapat pengakuan komintern," papar
Budiman selanjutnya.

Sebaliknya, watak partai kader lenyap setelah PKI turut unggul di Pemilu
1955. Jurnal-jurnal terbitan partai memang dijumpai tetapi berisi melulu,
"Slogan-slogan revolusi dan kebenaran analisa Marxisme," ujar Budiman.

Kritik tersebut lantas mengundang bantahan. Sosiolog Dr. Arief Budiman
mengingatkan Budiman Sudjatmiko tentang paper Tan Ling Gie yang memicu
kemunculan argumentasi-argumentasi kritis dari intelektual PKI. Tak
ketinggalan, mantan anggota PKI dari Ali Arkam, Hasan Rait membantah
kesimpulan Sudjatmiko.

"Justru di tahun-tahun 1920-an PKI melakukan banyak kesalahan dengan
percobaan-percobaan revolusi," terang Hasan Rait. Peran Snevliet sendiri
dinilai Goenawan Mohamad berangkat dari teori Lenin mengenai "Dua Taktik
Sosialis Revolusioner". Kerangka analisa yang dibuat Lenin dalam menilai
sifat revolusi Rusia.

Kala itu Lenin menulis: "Sifat utama situasi Rusia saat ini adalah bahwa
negara ini sedang beralih dari tahapan pertama revolusi -yang disebabkan
oleh kurangnya kesadaran kelas dan organisasi kaum ploretariat, telah
menempatkan kekuasaan di tangan kaum borjuis- menuju tahapannya yang kedua,
yang harus menempatkan kekuasaan di tangan kaum proletariat dan
golongan-golongan termiskin kaum tani". Tahap pertama oleh Bolshevik
dimengerti sebagai tahapan demokrasi. Lepas dari benar tidaknya asal muasal
gagasan Henk Snevliet, Lenin sendiri tidak memaklumkan "dua taktik" secara
ketat. Baginya yang paling penting adalah kesadaran kelas kaum proletar dan
organisasi.

Ada benarnya ketidakketatan Lenin memberlakukan "dua taktik". Cina tahun
1927 ditandai dengan kemenangan kaum buruh komunis bersenjata atas golongan
reaksioner. Toh, ketika Shanghai berhasil dikuasai, kemenangan itu diminta
pihak nasionalis pimpinan Ciang Kai-Shek. Alasan Khai-Shek, "perlu tahapan
demokrasi sebagaimana tesis dua taktik Lenin yang telah dimaklumatkan
Stalin". Toh, pasca penyerahan kemenangan berikut senjata, kaum komunis Cina
diserbu gerakan nasionalis atas titah Chiang Kai Shek.

Dari pengalaman-pengalaman Bolshevik masa Lenin, Stalin, Cina dan Spanyol
tahun 1930-an kaum kiri beroleh pijakan betapa menderita kerugian berpolah
dogmatis. Maka, bodoh saja bila terulang. Sementara kapitalisme sebagai
lawan kian melentur diri dan karenanya kian meranggas dan menggeragas.
"Tetapi apa maksud 'kiri' sebenarnya?" cetus Rara, seorang peserta. Lebih
jauh Fajrul Rahman mempertanyakan makna menjadi 'kiri' saat ini. Tukikan
pertanyaan kemudian, "Bisakah menjadi 'kiri' tanpa sekaligus menjadi seorang
Marxis?"

Rocamora menelorkan rumusan secara singkat. Kiri, dan orang-orang kiri,
tidak lain adalah mereka yang senantiasa melawan, mengkritik dan bermaksud
menghancurkan kapitalisme. "Saya kira ini turut memberi jawaban apa maknanya
menjadi 'kiri' sekarang ini," terang Rocamora. Bersepakat dengannya Budiman
Sudjatmiko menambahkan bahwa 'kiri' merupakan pilihan posisi politik.

Kedua pembicara selanjutnya mengemukakan bisa saja menjadi 'kiri' tanpa
sekaligus Marxis. "Tetapi 'kiri' yang dimaknai sebagai lawan kapitalisme,
sulit tidak menjadi Marxis. Sebab, belum ada teori yang mengkritik dan
menganalisa kapitalisme setajam dan sesistematis Marxisme," tukas Rocamora.
Namun, seperti ditanyakan Goenawan Mohamad, "Apa perlu teori sekarang?
"Tanpa teori PRD tidak dapat menganalisa struktur masyarakat, menentukan
basis pengorganisasian, dan menetapkan strategi perlawanan," tutup Budiman
Sudjatmiko. (*)

Komentar

Postingan Populer