MENYERET WIRANTO KE PENGADILAN




(PERISTIWA): Laporan panjang KPP HAM Timtim setebal empat ribu halaman
diserahkan ke Jaksa Agung. Bukti-bukti dalam laporan panjang itu memberatkan
Jendral TNI Wiranto.

Lettu Inf Sugito stres berat ketika KPP HAM hendak memanggilnya. Mabes TNI
menyembunyikannya di sebuah tempat di Jakarta. Lalu, dibikin cerita, ia
tengah cuti ke Kupang dan merasa terpukul karena keluarganya menjadi korban
kerusuhan Ambon. Cerita Mabes TNI itu bohong. Lettu Inf Sugito, mantan
Komandan Koramil Suai Kota, Timtim, tak berlibur ke Kupang dan ia tak
memiliki keluarga di Ambon. Ia stres karena dibon Kopassus dan stres karena
tak bisa mengelak dari tuduhan memimpin pembantaian sekitar lima puluh
pengungsi di kompleks Gereja Suai, 5 September 1999, termasuk tiga orang
pastor di sana. Sebenarnya, yang seharusnya stres tak hanya Sugito, tapi
juga Kolonel Inf Herman Soediono, Bupati Covalima. Mantan Komandan Sektor B
yang bermarkas di Baucau itu, bersama Sugito memimpin langsung pembantaian itu. 

Herman, menurut para saksi yang diperiksa KPP HAM, Kolonel Herman dan Lettu
Sugito, berpakaian loreng militer bersenjata M-16. Para saksi mengatakan,
ketika itu Herman dan Sugito memberi perintah agar para pastor dan pengungsi
yang macam-macam dibunuh. Pastor Hilario ditembak dadanya oleh penyerbu yang
terdiri dari milisi, polisi dan TNI. Lalu, Pastor Fransisco ditikam hingga
tewas dan Pastor Dewanto, anak Magelang, Jawa Tengah itu, juga ditembak.
Polisi, Brimob Kontingen LoroSae, dan TNI menembaki para pengungsi yang
hendak lari keluar gereja.

Mayat-mayat para pengungsi dan tiga pastor itu, diangkut truk angkut militer
merek Hino ke sebuah desa di Kabupaten Belu, Timor Barat. Sugito sendiri,
bersama anak buahnya yang "menyembunyikan" mayat-mayat itu. Sugito dan
Herman oleh KPP HAM diklasifikasikan sebagai tersangka kategori "C" yakni
mereka yang terlibat dalam pembantaian langsung. 

Pembantaian massal lainnya terjadi di Markas Polres Maliana, Kabupaten
Bobonaro (sekitar 150 kilometer dari Dili) 8 September 1999. Milisi
melakukan penyerbuan serta pembantaian dan polisi Kontingen Lorosae dan TNI
berada di belakang pasukan milisi. Ratusan orang diperkirakan tewas dan
mayatnya dihilangkan. Komandan Kodim Maliana Letkol Kav Burhanuddin Siagian
dan Kepala Seksi Intel Kodim Maliana, Lettu Inf Sutrisno dianggap
bertanggungjawab terhadap pembantaian pengungsi ini. Ia diduga keras tahu
rencana pembantaian dan mungkin yang memerintahkan pembantaian itu.
Burhanuddin masuk dalam kategori "C". 

Puluhan orang pengungsi di Gereja Liquisa tewas dalam penyerbuan oleh aparat
Kodim Liquica dan milisi. Mayat-mayat pengungsi itu raib. Seorang saksi KPP
HAM mengatakan ia diminta membantu Koppasus membuang 15 mayat di sebuah
danau dan kesaksian lain mengatakan anggota Koramil Maubara mengubur lima
mayat korban pembantaian itu. Namun, anehnya, Komandan Kodim Liquica, Letkol
Inf Asep Kuswaya tak masuk dalam daftar tersangka, padahal ia seharusnya
tahu ada penyerbuan dan harus mencegahnya mengingat letak gereja dan Markas
Kodim yang hanya berjarak sekitar seratus meter. 

Komandan Batalyon 745, Letkol Inf Jacob Djoko Sarosa juga disangka
bertanggungjawab atas pembunuhan wartawan Belanda, Sanders Thones. Lalu
seorang anggota Kopassus yang belum bisa diidentifikasi memberi perintah
kepada milisi Alfa untuk membunuh wartawan lainnya, Agus Mulyawan (wartawan
Jiji Pers, Jepang) yang bersama-sama rombongan biarawati dan guru agama
tengah melakukan perjalanan ke Los Palos. Lalu, di mana kesalahan para
jendral itu?

Berikut daftar kesalahan para jenderal;
1. Jendral TNI Wiranto (Panglima TNI). Dianggap mengetahui terlebih dahulu
akan terjadinya situasi yang mengarah pada terjadinya tindak kekerasan dan
juga mengetahi adanya kekerasan namun tidak berusaha mencegah dan menindak
pelaku.

2. Brigjen Pol Timbul Silaen (Kapolda Timtim). Tidak melakukan tindakan
pencegahan yang efektif untuk menghentikan rangkaian kekerasan.

3. Brigjen TNI Noer Muis (Komandan Korem 164/Wiradharma). Sebagai komandan
tidak mengambil tindakan yang cukup untuk menghentikan pasukannya ikut serta
dalam aksi-aksi kekerasan milisi.

Tiga jendral di atas masuk dalam kategori "A" yakni kategori mengetahui
adanya kejahatan tapi tidak mengambil tindakan pencegahan yang efektif
kendati yang bersangkutan berwenang mengambil tindakan.

4. Mayjen TNI Zacky Anwar Makarim (anggota Satgas P4OKTT dan Penasehat
Keamanan Satgas P3TT). Melakukan kegiatan intelijen dan operasional di luar
tugas pokok sebagai penasehat keamanan P3TT.

5. Letjen TNI Johny Lumintang (Wakil KSAD). Mengeluarkan perintah penggunaan
kekuatan atas nama KSAD. Perintah Johny ini merupakan dasar kebijakan
pengungsian paksa besar-besaran pasca jajak pendapat.

6. Mayjen TNI Adam Damiri (Pangdam IX/Udayana). Ikut mendukung kegiatan
milisi, tidak mencegah dan menindak keterlibatan anggota TNI dalam milisi.

7. Mayjen TNI HR Garnadi (Staf Polkam). Mendukung kebijakan yang represif
dan bumi hangus.

8. Brigjen TNI Tono Suratman (Komandan Korem 164/WD Timor Timur). Membiarkan
dan tidak mengambil tindakan terhadap satuan-satuan di bawah kendalinya yang
terlibat dalam milisi. Ia juga ikut memberikan brifing kepada milisi.

9. Letkol Inf Yayat Sudrajat (Komandan Satgas Intelijen (SGI/Satgas Tribuana
Kopassus). Memberi senjata dan dukungan langsung kepada milisi.

10. Letkol Inf Sudrajat, Komandan Kodim Lautem. Memberikan senjata dan
menyediakan markas untuk milisi.

11. Mayor Inf Yakraman Yagus (Komandan Batalyon 744/Dili). Tidak menindak
atau menghentikan anggotanya yang melakukan teror.

12. Kapten Inf Tatang (Komandan Kompi B/Batalyon 744/Dili). Mengetahui
adanya mayat dalam kompleks markas batalyon.

Para perwira ini masuk dalam kategori "B" yakni tersangka yang melakukan
aktifitas pengendalian operasi lapangan, memberikan dukungan kendati
tindakan itu bertentangan dengan tugas mereka sebagai aparat keamanan.
Kategori paling berat adalah kategori "C" yakni mereka yang terlibat
langsung dalam aksi-aksi pelanggaran HAM. 

Wiranto, bagaimana pun harus bertanggungjawab terhadap semua tindakan
satuan-satuan militer dan para perwira di jajarannya. Bagaimanapun, dalam
struktur militer, apa yang dilakukan TNI dan Polri di Timor Timur, adalah
perintah atasan. Mustahil, jika Wiranto dan para jendral itu tak
merancangnya bersama-sama. Kalau KPP HAM bisa membuktikan lebih jauh lagi,
Wiranto mungkin bisa dikenai tuduhan lebih berat lagi: perancang chaos di
Timtim. (*)

Komentar

Postingan Populer