Jaman Pembodohan



Pasca pengunguman Joko Widodo – KH. Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto – Sandiaga Uno, penghuni media sosial banyak yang memuji, mencibir, bahkan kecewa kedua kandidat tersebut. Semua ini efek dari pesatnya pekembangan teknologi, terutama kemudahan dalam mengakses media sosial atau internet. Fenomena semacam ini bebarengan dengan tahun politik, maka akan menyebabkan banyak penghuni media sosial menjadi ‘pemabuk politik’. Terlebih jika melihat kepada mereka yang memang pro terhadap calon tertentu.

Seperti halnya dengan pendukung Jokowi. Rata-rata dari mereka kecewa dengan pemilihan KH. Ma’ruf Amin sebagai pendamping Jokowi. Mereka masih mempunyai bekas luka yang hingga kini masih terasa. Yaitu perkara dalam kasus penistaan agama oleh Ahok. KH. Ma’ruf Amin sendiri menjadi salah satu figur yang menjebloskan Ahok ke penjara. Atas dasar itulah, rata-rata pendukung Jokowi memilih untuk golput. Mereka lebih setuju jika Prof. Mahfud Md yang mendampingi Joko Widodo.

Dari poin di atas, setidaknya bisa diambil kesimpulan sementara, bahwa pendukung Jokowi rata-rata merupakan pendukung Ahok. Pendukung Ahok mutasi dukungan ke Joko Widodo karena Jokowi pernah memilih Ahok sebagai pendamping dalam membangun DKI Jakarta. Dari poin ini saja sudah terlihat bahwa ada “generalisasi” terhadap seorang tokoh atau pemimpin. Potensi berkurangnya suara untuk Jokowi semakin besar disaat partai penguasa PDIP mulai terbuka dengan PKS dan PAN untuk segera gabung ke dalam koalisi mereka. Tidak hanya itu, kasus SP3 Chat Sex Habib Rizieq juga menjadi salah satu faktor berkurangnya dukungan ke Jokowi. Terlebih, dengan pembagian kursi kekuasaan bagi siapa saja dari pihak oposisi yang bersedia bergabung ke pemerintah. Bukan, ini bukan masalah strategi main catur. Ini strategi senjata makan tuan. Ini merupakan bunuh diri. Dengan poin ini menunjukan bahwa pendukung Joko Widodo belumlah solid. Namun saya tidak terlalu ambil pusing dengan poin di atas, karena memang saya bukan orang parpol, pendukung parpol, maupun pendukung Jokowi.

Lalu yang berikutnya, Prabowo Subianto – Sandiaga Uno. Banyak orang salah kaprah tentang kubu yang satu ini, terutama dari pendukung Jokowi. Rata-rata mereka meremehkan Sandiaga Uno yang tidak becus mengurus Jakarta. Jangan salah, kita harus lihat siapa saja yang ada di belakang Sandiaga Uno. Di sana banyak mafia yang dirugikan oleh Jokowi, itulah yang perlu diwaspadai. Terlebih, Sandiaga Uno ini condong ke Donald Trump. Sebenarnya ini bisa terlihat ketika masa Pilkada DKI Jakarta. Ahok-Djarot yang berporos ke Timur, Anis – Sandi yang berporos ke Barat. Bayangkan saja, saat Pilkada DKI Jakarta, yang biasanya terdengar ‘sejuta’ hujatan untuk Amerika, mendadak sepi dan sunyi, tidak ada penapakannya. Jika Ahok – Djarot yang diusung oleh PDIP saja keok di Jakarta, bagaimana dengan Pilpres nanti? Terlebih, banyak suara yang terpecah di kubu Jokowi.
Sekali lagi, ini bukan main catur, ini bunuh diri, senjata makan tuan. Tapi anehnya banyak dari pendukung Jokowi yang mangut-mangut saja ketika dicekoki kalimat “strategi main catur”. Mereka awam dalam politik, tapi mulutnya terbuka lebar, urat lehernya kelihatan besar-besar ketika sedang debat masalah politik. Tapi pada esai kali ini saya tidak akan membahas lebih jauh mengenai kandidat di atas. Saya lebih tertarik membahas persoalan yang tak kunjung menemui titik terang. Saya berbicara di sini atas dasar kemanusiaan, saya tidak ambil pusing dengan elit di pemerintahan, saya lebih peduli dengan mereka yang tanahnya dirampas lapak rejeki dimatikan. Semua ini berawal dari yang katanya demi pembangunan. Ketika saya bicara tentang penggusuran, pendukung Jokowi selalu bilang “Penggusuran sudah terjadi sebelum Jokowi jadi Presiden, tapi yang disalahkan selalu Jokowi.” Cuy, kalau tidak menyebut nama Presiden, mau nyebut siapa? SBY? Prabowo? Megawati? Soeharto?. Nyatanya Indonesia saat ini sedang dipimpin oleh Jokowi, pastinya yang dibawa-bawa yaitu nama Jokowi sebagai Presiden.

Siapapun Presidennya, siapapun pendampingnya, sama, tidak akan berpengaruh banyak. Penggusuran tetap terjadi, perampasan tetap terjadi, dominasi kapitalis tetap terjadi. Karna apa? Negara ini menganut sistem campuran, di antara kiri dan kanan, sehingga rawan disenggol dari kedua sisi. Faktanya, propaganda terhadap kiri berhasil menggeser kanan menjadi penguasa di negara ini.
Coba saja lihat berapa banyak tanah yang dirampas, berapa banyak rampasan yang dikuasai oleh kapitalis. Mereka yang terampas bisa apa? Mereka hanya dijadikan tumbal kampanye, janji-janji, omong kosong. Proletar tetap bisa makan atas usaha sendiri. Sedangkan kebijakan dari pemerintah? Hanya condong ke pemilik modal, investor. Tidak usah jauh-jauh, saya menjadikan diri saya sebagai sample. Usaha yang saya lakukan dalam mencari uang, tidak ada campur tangan dari Presiden maupun pemerintah. Keluarga saya lepas dari jurang kemiskinan atas usaha sendiri, tidak ada satupun bantuan dari pemerintah yang saya terima dalam lepas dari jurang kemiskinan.
Jika dikata angka kemiskinan berkurang. Benar, memang benar. Tapi saya mau nanya, program apa saja dari pemerintah yang berhasil mengurangi angka kemiskinan? Bantuan? UMKM? KUR? Bedah rumah? Apa lagi? Tidak ada. Kebanyakan orang yang lepas dari jurang kemiskinan, adalah mereka yang niat, tekun, optimis, kerja keras. Bukan mereka yang hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah. Karna apa? Karena mereka tahu, bantuan yang datang dari pemerintah sudah digerogoti oleh birokrat nakal. Karena mereka tau, bantuan dari pemerintah tidak akan merubah nasib mereka. “ya tapi kan sudah diberi bantuan oleh pemerintah.” Yep, saya tau. Makanya saya bilang di atas, banyak orang yang lepas dari jurang kemiskinan, berkat usaha mereka sendiri. Sedangkan elit pemerintahan? Hanya bisa maling uang rakyat.

By. Mr A

Komentar

Postingan Populer